OPTIMALISASI PERAN KOMISI YUDISIAL TERHADAP KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA (UPAYA MENINGKATKAN INTEGRITAS DAN CITRA KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA)


Abstrak
Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu esensi dan pilar penting dari negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman yang independen dalam mencapai keadilan dan kebenaran. Sebuah hal yang tidak mugkin sebuah negara hukum dibangun dengan kekuasaan kehakiman yang tidak akuntabel dan tidak independen. Independensi kekuasaan kehakiman ini dapat dilihat dari tiga aspek penting yaitu pada aspek lembaganya, proses peradilan, serta kemandirian hakim itu sendiri dalam mengambil keputusan. Sejak masa orde baru hingga pasca reformasi ini, tidak dapat dipungkiri independensi dan integritas kekuasaan kehakiman masih menuai berbagai macam kritikan dan kecama yang bersumber dari ketidak puasan para pencari keadilan hal tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan kehakiman masih dapat diintervensi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam menyikapi hal tersebutlah kemudian amandemen UUD NRI Tahun 1945 mengamanatkan berdirinya Komisi Yudisial yang berfungsi sebagai pengawas dan pelaksana rekrutmen hakim demi terwujudnya hakim yang berntegritas dan profesional dalam melaksanakan tugasnya sebagai penegak hukum dalam rangka mencapai keadilan dan kebenaran. Fungsi dan tujuan Komisi Yudisial tersebut tampak sangat penting mengingat Indonesia merupakan negara hukum, sehingga perannya sangat penting untuk diperkuat dan dioptimalisasi. Optimalisasi peran Komisi Yudisial tersebut dapat dilakukan dengan menjadikan Komisi Yudisial sebagai lembaga yang sejajar dengan lembaga tinggi negara lainnya, yaitu sebagai state main organ.

Kata Kunci: Negara Hukum, Komisi Yudisial, Independensi Kekuasaan Kehakiman.OPTIMALISASI PERAN KOMISI YUDISIAL TERHADAP KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
(UPAYA MENINGKATKAN INTEGRITAS DAN CITRA KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum (Rechtstaat), bukan negara kekuasaan (Machtstaat), seperti yang telah ditegaskan dalam konstitusi Indonesia Pasal 1 ayat (3) yaitu “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini menegaskan bahwa yang memimpin dan mempunyai komando tertinggi negara Indonesia bukanlah orang, melainkan hukum itu sendiri, sesuai dengan prinsip the rule of law, and not of man. Oleh karena itu, segala sesuatu yang akan dilakukan oleh seluruh warga negara haruslah berdasarkan atau berlandaskan hukum, begitupun segala sesuatu yang telah diamanatkan oleh hukum haruslah dilaksanakan dan di upayakan terwujudnya. Dalam Hal ini adalah Pancasila sebagai filosofische gronslag dan common platforms yang dibentuk berlatarbelakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis dalam suasana kebatinan Bangsa Indonesia, serta manifestasi kesepakatan Bangsa Indonesia berkenaan dengan cita-cita dan kepentingan bersama ditengah-tengah pluralisme, yang kemudian dijadikan dasar filosofis-ideologis mencapai atau mewujudkan tujuan bernegara. Disamping itu, Pancasila juga menjadi dasar atas pembentukan seluruh hukum yang ada, termasuk UUD 1945 sebagai dasar hukum tertulis dan pegangan dalam penyelenggaraan Negara Indonesia.
Sesuai dengan esensi negara hukum, maka salah satu pilar pentingnya adalah adanya kekuasaan kehakiman yang menjadi syarat ditegakkannya sebuah keadilan dan kebenaran sesuai dengan hukum itu sendiri. Kekuasaan kehakiman dalam negara hukum ini juga merupakan tempat pergkonkritisasian dari hal-hal yang bersifat abstrak menjadi konkrit, dari masalah yang masih bersifat ide serta rumusan-rumusan yang notabene bersifat abstrak sebagaimana yang telah dikatakan oleh Sajipto Rahardjo. lembaga yang merupakan penampung sekaligus penyelesai kasus hukum, maka lembaga peradilan harus mampu menerima segala kasus hukum tanpa harus memandang bulu, baik itu orang miskin ataupun kaya, dan lain sebagainya. Hal tersebut kiranya wujud dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kehakiman Pasal 14 ayat (1) yaitu “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada hukumnya atau kurang jelas , melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”. Selain itu, Lembaga peradilan juga tidak boleh membeda-bedakan subjek hukum dengan perbedaan bentuk apapun baik status, dan jabatannya sebagaimana di jelaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 5 yaitu “Peradilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang “.
Undang-undang di atas menegaskan bahwa semua perkara harus diadili dengan benar dan seadil-adilnya di hadapan hukum. Hukum tidak boleh tajam kebawah dan tumpul keatas, dalam artian hukum tidak hanya kuat berlaku pada orang kecil dan lemah ketika berhadapan dengan orang kuat atau kaya. Hal ini kiranya sesuai dengan prinsip equality before the law, yaitu semua orang dianggap sama di depan hukum.
Namun dalam kenyataannya, tidak sedikit lembaga-lembaga peradilan sebagai salah satu wujud dari kekuasaan kehakiman dapat dikatakan masih berat sebelah dalam memutus perkara. Tidak sedikit orang-orang bersalah yang seharusnya dijatuhi hukuman, justru dibebaskan, begitupun sebaliknya, tidak sedikit orang-orang yang tidak bersalah justru dijatuhi hukuman. Hal ini menunjukkan bahwa adanya kekuasaan kehakiman masih belum bisa menjadi pilar untuk mewujudkan Negara Indonesia sebagai negara hukum. Fenomena yang demikian, tidak dapat dipungkiri disebabkan oleh tidak merdekanya kekuasaan kehakiman sehingga dengan mudah diintervensi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Oleh karena itu, untuk mengentaskan berbagai permasalahan lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia pemerintah membentuk Komisi Yudisial sebagai bentuk reaksi atas kegagalan sistem peradilan yang berkeadilan ditandai dengan maraknya mafia hukum, mafia peradilan dan sebagainya. Ralam rangka memaksimalkan tujuan dibentuknya Komisi Yudisial tersebut kemudian perlu kiranya upaya untuk memperkuat peran dan kedudukan Komisi Yudisial Republik Indonesia.
B. Rumusasn Masalah 
1. Bagaimanakah urgensi dan pengaruh Komisi Yudisial terhadap Lembaga Kekuasaan Kehakiman di Indonesia?
2. Bagaimanakah optimalisasi peran Komisi Yudisial dalam meningkatkan integritas kekuasaan kehakiman Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapaun tujuan yang penulisan karya ilmiah ini dapat dirumuskan secara garis besar sebagai berikut:
1. Memetakan secara jelas kedudukan Komisi Yudisial serta pengaruhnya terhadap kekuasaan kehakiman Indonesia.
2. Merumuskan sasaran optimalisasi peran Komisi Yudisial guna mewujudkan kekuasaan kehakiman yang berintegritas dan Independen.
Manfaat atau kegunaan dari penyusunan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui kedudukan dan pengaruh Komisi Yudisial terhadap kekusaan kehakiman Indonesia
2. Memberikan solusi praktis untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang berintegritas dan independen atau merdeka dengan optimalisasi peran Komisi Yudisial

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Kekuasaan Kehakiman yang Independen
Berangkat dari teori Montesquieu yang mengatakan bahwa dalam suatu sistem pemerintahan negara terdapat tiga jenis kekuasaan yang harus terpisah dikenal dengan istilah “trias politica” yang meliputi kekuasaan eksekutif yang dilaksanakan oleh pemerintah seperti presiden yang dibantu wakil presiden da para menterinya, kekuasaan legislatif yang dilaksanakan oleh badan perwakilan rakyat, dan kekuasaan eksekutif yang dilaksanakan oleh badan peradilan. Dalam teorinya ini Montesquieu melanjutkan pentignya pemisahan kekuasaan kehakiman yang merdeka atau independen dari kekuasaan lainnya guna menjamin adanya kebebasan politik untuk menjamin keamanan dan keselamatan warga negara, karena ketika kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan eksekutif ataupun kekuasaan legislatif, bukan hal yang tidak mungkin ketika kekuasaan kehakiman digunakan sebagai kepentingan politik termasuk untuk bertindak semena-mena dan menindas. Atas dasar itulah kemudian Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasca amandemen meletakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka atau independen dan terlepas dari kekuasaan lainnya.
Esensi dari independensi kekuasaan kehakiman, Jimly Asshiddiqie mengartikan sebagai merdeka dan terlepas dari oengaruh kekuasaan pemerintah. Merdeka yang dimaksudkan adalah merdeka baik daam dimensi fungsional maupun institusional. Dalam dimensi fungsional maksudnya adalah kekuasaan pemerintah tidak boleh melakukan intervensi yang bersifat atau yang patut diduga akan memengaruhi jalannya proses pengambilan keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh hakim. Hal ini telah ditegaskan di dalam UUD 1945 sebagai hukum tertulis dan pegangan dalam penyelenggaraan Negara Indonesia tepatnya pada Pasal 24 ayat (1) yaitu “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Berdasarkan pasal tersebut jelaslah bahwa secara mendasar Indonesia telah mengatur independensi kekuasaan kehakiman demi tercapainya penegakan hukum yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kekuasaan kehakiman, dalam hal ini hakim sebagai komponen utama dalam penegakan kekuasaan kehakiman haruslah independen dalam mengambil keputusan. John L. Murray, Ketua Mahkamah Agung Irlandia menegaskan bahwa semua hakim harus independen dalam menjalankan fungsi peradilan mereka dan tunduk hanya pada konstitusi dan hukum yang berlaku. Begitu pentingnya sebuah independensi kekuasaan kehakiman terutama dalam negara hukum ini, sehingga kekuasaan kehakiman yang independen dan akuntabel merupakan pilar penting dalam sebuah negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang berdasarkan hukum, tidak mungkin sebuah negara hukum dibanguna tanpa kekuasaan kehakiman yang independen dan akuntabel. Oemar Seno Adji juga berpendapat negara hukum harus memenuhi beberapa persyaratan diantaranya adanya suatu peradilan yang bebas “indispensable” dalam suatu masyarakat di bawah “Rule of Law”. Kebebasan peradilan, kebebasan seorang hakim sebagai ketentuan konstitusional merupakan salah satu aspek essentieel, bahkan unsur fundamental dan conditio sinequa non dalam negara hukum bagi Indonesia. Kebebasan yan dimaksudkan tersebut adalah kebebasan lembaga kehakiman dari intervensi badan-badan lain seperti eksekutif maupun legislatif, namun hal itu bukan berarti hakim kemudian dapat bertindak sewenang-wenang. Dalam menjalankan wewenangnya, seorang hakim juga harus memperhatikan dan tunduk pada norma atau hukum yang telah ditetapkan. Demikian pula dengan pendapat Sri Soemantri yang menyatakan bahwa Indonesia dalah negara hukum dan dalam negara hukum dijamin kekuasaan kehakiman yang merdeka.
Terdapat tiga aspek untuk mengukur independensi kekuasaan kehakiman menurut Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti yang meliputi lembaga, proses peradilan, dan kemandirian hakimnya. Kekuasaan kehakiman tidak dapat dikatakan independen atau merdeka ketika apabila lembaga peradilannya mempunyai ketergantungan pada lembaga lain sehingga dapat mempengaruhi integritas dan kemandiriannya oleh lembaga lain tersebut. Begitun dengan hierarkis secar formal, ketika lembaga yang diatasnya dapat ikut campur baik secara paksa maupun secara administrasi dan memengaruhi kemerdekaan atau independensi lembaga peradilan tersebut. Selain itu, kemerdekaan atau independensi kekuasaan kehakiman juga dapat dilihat dari ada atau tidaknya campur tangan atau intervensi pada proses peradilan dari pihak lain di luar kekuasaan kehakiman yang dapat memengaruhi proses peradilan baik secara langsung ataupun tidak langsung. Kekuasaan kehakiman tidak dapat dikatakan independen ketika ada intervensi yang berpengaruh pada proses peradilan. Selanjutnya adalah terletak pada kemampuan dan ketahanan hakim dalam menjaga integritas moral dan komitmen kebebasan profesinya dalam melaksanakan tugas dan wewenanganya dari adanya campur tangan dari pihak lain. Tidak dapat dikatakan independen ketika hakim terpengaruh oleh campur tangan pihak di luar kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugas dan wewenang yudisialnya.
Berdasarkan penjelasan di atas, menunjukkan bahwa independensi kekuasaan kehakiman merupakan salah esensi terpenting dalam penyelenggaraan Negara Republik Indonesia, melihat Indonesia merupakan negara hukum dengan prinsip keadilan sosial bagi seluruh warganya. Oleh karena itu, Bagir Manan menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan prasyarat bagi tegaknya keadilan dan kebenaran.
Upaya menjamin independensi kekuasaan kehakiman di Indonesia dibentuklah Komisi Yudisial yang mendapatkan kewenangan langsung dari dari konstitusi untuk menjaga integritas dan kepribadian hakim yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 24B ayat (1) yaitu “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Berdasarkan hal tersebut, maka eksistensi Komisi Yudisial di Indonesia sangat penting untuk dipertahankan demi terciptanya kekuasaan kehakiman yang independen, berintegritas, profesional, dan adil sesuai dengan konstitusi Indonesia.
B. Hukum Progresif
Hukum progresif adalah melakukan pembebasan, baik dalam cara berfikir maupun bertindak dalam hukum,sehingga mampu mebiarkan hukum itu mengalir saja menuntaskan tugasnya mengabdi kepada manusia dan kemanusiaan, hukum progresif itu ada didalam masyarakat memenuhi tujuannya yaitu: etis atau menciptakan keadilan; utilistis atau menjamin kebahagian dan ketertiban. Selama ini hukum hanya di pandang tidak adil dan hukum itu hanya bagi orang-orang borjuis.
Hukum progresif menurut Prof.Sarjipto Rahardjo mempunyai sepuluh butir gagasan yang menjadi benang merah dari pemahaman  pemikirannya yang menjadi kunci-kunci di antaranya:
1. Hukum Untuk Manusia, Bukan Manusia Untuk Hukum
Pada hakikatnya setiap manusia itu baik, sehingga dengan sifatnya menjadi modal untuk membangun kehidupan hukum yang baik, hukum itu bukan segala, hukum juga buka tuhan yang selalu benar dan sesuai dengan kehidupan manusia, hukum itu ada bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk umum sehingga bila ada suatu kasus yang terjadi bukan orang yang selalu di salahkan, hukum juga harus di tinjau serta di perbaiki, bukan manusia yang harus di paksa-paksa untuk selalu masuk pada skema hukum itu, hukum ditempatkan sebagai alur besar deep-ecology, hukum untuk kehidupan sejagat, dimana manusia bukan lagi titik sentral satu-satunya.
2. Hukum Pro Rakyat Dan Pro Keadilan
Hukum itu harus berpihak kepada rakyat, keadilan harus didudukkan di atas peraturan, para penengak hukum itu harus melakukan mobilisasi hukum, jadi seroang penengak hukum (hakim) itu tidak boleh terpengaruh oleh tesk legalistik formalistik karena asas keadilan di atas asas-asas yang lain, prinsif hukum por-rakyat dan pro-keadilan adalah barometer dari progresivisme.
3. Hukum yang Mengantarkan Manusia Kepada Kesejahteraan Dan Kebahagian
Hukum ini berbeda dengan tujuan hukum liberal, pascaliberal, hukum itu harus mensejahterakan dan membahagiakan.
4. Hukum Selalu Dalam Berproses Menjadi  (Law As A Process, Law In The Making)
Peraturan hukum itu bukan peraturan yang final, karena hukum itu untuk manusia dan mengawal kehidupan manusia  maka hukum itu harus terus–menerus membangun dan mengubah dirinya menuju  tingkat kesempurnaan yang lebih baik, setiap keputusan dan ketetapan yang dibuat oleh lembaga yudikatif, lembaga legislatif, dan lembaga eksekutif merupakan terminal menuju keputusan berikutnya yang ideal dan baik.
5. Hukum Menekan Hidup Baik Sebagai Dasar Hukum yang Baik.
Fundamen hukum itu tidak terletak pada bahan hukum atau undang-undang (legal shuff), sistem hukum, berpikir hukum, dan sebagainya, melainkan lebih pada manusia dan prilaku manusia, hukum itu akan baik apabila prilaku manusianya baik, dan sebaliknya hukum akan buruk apabila prilakunya buruk.
6. Hukum Memiliki Tipe Responsif.
Hukum selalu dikaitkan dengan narasi-narasi tesktual hukum itu sendiri, dan respinsif menolak hukum yang bersifat final dan tak tergugat.
7. Hukum Mendorong Peran Publik.
Hukum itu terbatas maka apabila mempercayakan sesuatu itu pada kekuatan hukum ini adalah sikap yang keliru dan tidak realistis, pada dimensi lain masyarakat lemah dan pada dimensi lainnya masyarakat memiliki kekuatan otonom untuk melindungi dan menara dirinya sendiri, namun kekuatan itu kalah dengan kekuatan yang mendominasi di bawah hukum modern yang notabene adalah hukum negara. Oleh karena itu hukum progresif memberi mobilisasi kekuatan otonom masyarakat.
8. Hukum Membangun Negara yang Berhati Nurani.
Negara hukum yang paling utama adalah berkultur , kultur yang dimaksud adalah kultur kebahagiaan rakyat keadaan tercapai apa bila kita tidak berkutat pada “a state legal structure of the state” melainkan mengutamakan “a state with concience”
9. Hukum Dijalankan Dengan Kecerdasan Spiritual.
Kecerdasan spiritual tidak ingin di batasi patokan (rule-bound), juga tidak hanya bersifat kontesktual, tetapi ingin keluar dari situasi yang ada dalam usaha mencari kebenaran makna dan nilai yang lebih dalam lagi.
10. Hukum Itu Merobohkan, Menganti, Dan Membebaskan.
Hukum progresif menolak sikap status qou dan submitif, sikap status qou menyebabkan kita tidak berani melakukan perubahan dan menganggap doktrin sebagai sesuatu yang mutlak untuk dilaksanakan.
Dari sepuluh benang merah masalah hukum progresif ialah keadilan subtantif, dan strategi pemangunan hukum yang responsif, sehingga berani membuat terobosan-terobosan baru terhadap masalah-masalah yang konkret dalam kehidupan yang dihadapi masyakarat, yakni memberlakukan Undang-Undang sepanjang itu memberikan rasa keadilan. Jadi orientasi dari hukum progresif bertumpu pada aspek peraturan dan perilaku (rule and behavior) di sini hukm di letakkan sebagai aspek prilaku manusia namun juga sekaligus sebagai aspek peraturan.
Hukum progresif itu lahir diabad-abad pertengahan dimana ketika kerajaan mempunyai absolut kekuasaan yang tidak hanya memegang masalah urusan kerajaan saja melaikan memegang tida kedudukan sekaligus, kekuasaan eksekutif, kekuasaan yudikatif, dan kekuasaan legeslatif karena kekuasaan legeslatif di kuasai oleh raja maka setiap keputusan perkara harus meminta keputusan kepada raja, dan pada saat itu juga raja di persepsikan sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana dan juga merupakan sebagai wakil tuhan di muka bumi yang keputusannya harus ditaati, karena setiap ada masalah selalu mengadu kepada raja maka rajapun menunjuk seorang hakim dengan seorang hakim itu raja memerintahkan kepada sang hakim untuk mengadili, saat itu belum ada pedoman atau undang-undang yang dipakai, dan sang raja mengatakan bahwa keputusan yang di buat oleh sang hakim itu memalui keputusan sang raja, dan semua keputusan hakim itu adalah kreasi hakim sendiri arti bukan keputusan raja hakim memutuskan dengan cara mengali nilai keadilan sendiri yang dia anggap adil dan mengikat sebagai produk hakim.
Hubungan Hukum Progresif Dengan Lembaga Kehakiman
Lembaga kehakiman adalah lembaga yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam memberi putusan-putusan, lembaga kehakiman mepunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan setiap perkara yang di ajukan kepadanya, selain dengan tugas pokok tersebut lembaga kehakiman tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada hukum dan kurang jelasnya hukum dalam undang-undang hal ini sebagaimana di atur dalam undang kehakiman, yang terdapat pada pasal 16 ayat 1 UU No 4 Tahun 2004: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa , mengadili, dan memutuskan suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Hal ini berarti bahwa hakim mempunyai peran penuh dalam memutuskan segala perkaranya itu artinya hakim harus esktra hati-hati dalam memutuskan sesuatu perkara hakim tidak boleh sepihak dalam memberi putusan, seorang hakim harus bersifat bijak dalam menjalankan tugasnya karena seorang hakim ketika salah memutus suatu perkara maka akibatnya sangat patal dan sangat buruk, seorang hakim di haruskan mengaju pada undang-undang, seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 3 ayat 1: “Semua Peradilan Di Seluruh Wilayah Indonesia Republik Indonesia Adalah Peradilan Negara Yang Di Tetapkan Dengan Undang-Undang”.
Dalam pasal ini hakim di tegaskan bahwa hakim harus menetapkan segalanya dengan undang-undang sebagaimana yang telah diamanahkan dalam undang-undang di atas , namun dalam pasal yang sama namun dalam ayat yang berbeda mengatakan bahwa”peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila”. Kolerasi antara hukum progresif dengan lembaga kehakiman ialah hakim sebagai pemutus perkara hakim tidak boleh mengunakan kacamata kuda dalam hal memutuskan sebuah perkara yang semuanya harus berdasarkan teks undang-undang (legalistik formil), seperti apa yang dikutip dalam pasal di atas hakim harus mengaju keadilan berdasarkan pancasila, kemana pancasila yang harus jadi pedoman, karena pancasila ada kausamaterialis atau padangan hidup dari masyarakat indonesia yang didalamnya ada unsur yang mendasar ya seperti keadilan, hakim dalam memutuskan perkara harus melakukan penafsiran terhadap undang-undang itu agar kecipta keadilan, di saat itulah hukum progresif itu berperan mendukung hakim dalam memutuskan perkara yang ada dengan mengunakan kajian interpretasi sosiologis.interpretasi sosiologis ialah hukum sebagai gejala sosial bearti peraturan hukum tidak lepas dari komunitas kehidupan manusia,bahkan hukum dibuat sesungguhnya mempunyai tujuan sosial yakni memcapai kepastian hukum bagi masyarakat. 
Pada masa lalu penjelasan undang-undang 1945, secara resmi disebutkan bahwa indonesia menganut Rechtsstaat, tetapi, sejak amandemen UUD, selaras dengan penghilangan penjelasan istilah Rechtsstaat, dan subtansinya menjadi yang tertulis dalam pasal 1 ayat 3 “Indonesia adalah negara hukum”. Tidak di catumkannya istilah Rechtsstaat dan Rule Of Law dalam Undang-undang itu sendiri memang disengaja agar indonesia bisa menganut Rechtsstaat atau Rule Of Law dan indonesia itu bisa juaga menganut legalisme yang mengatakan undang-undang itu telah lengkap dan semuanya telah ada dalam undang-undang tetapi juga menganut paham bahwa hakim bisa mencari keadilan sendiri (Rechtsvinding), artinya indonesia ini ditekankan pada sebuah pemahaman hukum progresif yang tidak selalu berkutat dalam undang-undang melainkan mengutamakan keadilan rakyat,dan pro rakyat terobosan ini akan menjadi pemicu integretas lembaga kehakiman indonesia yang sudah agak rabun di mata masyarakat jadi apabila hukum progresif itu di terapkan maka lembaga kehakiman akan mengalami revitalisasi secara perlahan di masyarakat.
C. Teori Hukum Hermenutik
Hermenutik adalah bermula dari bahasa yunani yang kemudian di adopsi ketata kebahasaan indonesia hermenutik itu secara etimologi berasal dari kata hermeneuien yang memiliki “menjelaskan”, kata ini kemudian di serap kedalam bahasa jerman hermeneutik dan kedalam bahasa inggris hermeneutics, yang memilik arti menjelaskan atau memahami bahasa seperti apa yang di kemukan oleh Friedrich Schleiremacher ia mengartikan hermeneutik adalah seni memahami secara benar bahasa orang lain, khususnya bahasa tulis( the art of understandimg rightly another man’s languange, particulary his written language).
Dalam penjelasan lain hermeneutik itu di kategori dalam tiga kategori meliputi: permata, pengungkapan pikiran seseorang dalam kata, artinya di mana dari kata disini ialah sebuah peralihan dari suatu yang relatif abstrak dan gelap, yaitu menjadi ungkapan yang jelas dan mudah di pahami; kedua, menerjemahkan ialah proses penerjemahan dari bahasa yang kurang kita pahami seperti bahasa asing menjadi bahasa yang mudah dipahami oleh kita; ketiga, menafsirkan, menafsirkan disini ialah dari hal yang kurang jelas menjadi jelas. Dari tiga pemahanan di atas hemeneutik secara sederhananya ialah adalah proses beralih dari sesuatu yang gelap menjadi sesuatu yang terang, hernemeutik atau penafsiran ciri khas manusia, dimana manusia tidak bisa lepas dari kecenderunngannya untuk memberi arti atau menafsirkan terhadap sesuatu, manusia adalah mahkluk yang mampu memberi makna pada realitas, dan dalam hal ini bahasa menpunyai peran sentral.
Seperti yang disebutkan dan dipaparkan di atas bahwa hermeneutik itu adalah proses menafsirkan atau meninterpertasikan, menintrepretasikan berarti mendetailkan kaidah hukum dan mengarahkan dan mengacu pada kejadian konkret aktual sebagai bentuk implentasikan kaidah hukum. Dalam  pengatar ilmu hukum sendiri ada beberapa metode menginterpretasikan hukum atau menafsikan hukum yang merupakan upaya menemukan hukum itu sendiri yang di tafsirkan ialah undang-undangnya, berikut adalah metode yang digunakan dalam menafsirkan hukum:
1. Interpretasi bahasa atau gramatikal, yaitu intrepretasi bahasa atau gramatikal adalah penafsiran dengan penijaun dari aspek tata kebahasaannya. 
2. Interpretasi teologis atau sosiologis yaitu penafsiran teleologis itu adalah penafsiran dengan undang-undang dengan tujuan kemasyarakataan sedangkan sosiologis itu adalah penasifsiran undang-undang itu apakah sesuai tidaknya di masyarakat.
3. Interpretasi sistematis, yaitu penafsiran yang tidak menyimpang dengan undang-undang. 
4. Intrepretasi historis, yaitu penafsiran yang meninjau dari aspek sejarah munculnya hukum.
5. Interpretasi komparatif, yaitu penafsiran yang membandingkan-bandingkan berdasarkan perbandingan hukum.
6. Interpretasi futuristis, yaitu penafsiran yang berpedoman pada peraturan atau undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.
7. Interpretasi reskriktif dan ekstensif, yaitu penafsirang reskriktif adalah penafsiran yang mempersempit makna dalam undang-undang sedangkan ekstensif adalah penafsiran yang memperluas makna dari pada undang yang tertulis. 
Hermeneutik itu sendiri berkembang sekitar abad 19 paruh pertengah dari abad itu, hermeneutik atau penafsiran hukum sendiri merupakan antitesa dari hukum legasime, karena terdapat pengaruh bahwa putusan-putusan itu harus terbentuk, dan menepati sentral maka hermeneutik ini mulai bergerak menepati posisinya.
Kolerasi Hermenutik Dengan Seorang Hakim
Hermeneutik memengang arti penting terutama bagi hakim dalam melakukan penemuan hukum. Pada proses penemuan hukum yang lazimnya dilakukan oleh para hakim dibedakan menjadi dua taha, yaitu : Pertama, terhadap sebelum pengambilan putusan (ex ante), dan kedua, tahap setelah pengambilan putusan (ex post). Pada terhadap pertama sering di sebut Heuristika, yaitu proses mencari dan berpikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai argumen pro kontra terhadap suatu putusan tertentu dipertimbangkan antara yang satu dan yang lainnya, kemudian di temukan mana yang paling tepat. Pada tahap kedua sering disebut legitimasi, karena selalu ada tekanan dengan pembenaran dari putusan yang sudah diambil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi (pprtimbangan) dan argumentasi secara subtansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang secara rasional dapat di pertanggung jawabkan. Apabila suatu putusan hukum tidak dapat diterima oleh forum hukum, maka berarti putusan tersebut tidak memperoleh legitimasi. Sebagai konsekuensinya, premis-premis baru harus diajukan dengan tetap berpegang pada penalaran, ex ante untuk meyakinkan forum hukum tersebut agar putusan tersebut dapat diterima. 
Hakim harus sangat hati-hati betul dalam pemutusankan sesuatu perkara, karena hakim merupakan penengak hukum yang bersifat otoritatif berwenang menerapkan undang-undang terhadap peristiwa konkret untuk menyelesaikan masalah hukum atau pelanggaran undang-undang kewenangan otoritatif pada hakim dalam menerapkan hukum, tidak terbatas melaksanakan kaidah undang-undang secara subsumtif, tetapi juga memberikan penafsiran atas teks undang-undang yang masih bersifat umum, kemudian mengkonkretkan secara operasional diterapkan terhadap peristiwa yang konket.
Interpretasi adalah proses konkretisasi dari norma atau undang-undang teks yang bersifat umum untuk diaktualisasikan pada peristiwa-peristiwa yang konkret yang telah terkoreksi perkembangan masyarakat, sehingga hakim tidak hanya sebatas pelaksana undang-undang saja akan tetapi berfungsi sebagai penyelasai masalah yang ada di masyarakat dengan cara mengadilinya, fungsi-fungsi hakim dalam melaksanakan tugas mengadili meliputi:
a) Menjamin peraturan perundang-undangan diterapkan secara benar dan adil.apabila ada peraturan yang menimbulkan ketidak adilan,maka hakim mengutamakan keadilan.
b) Hakim sebagai ”dinamisator” peraturan dengan mengutamakan penafsiran wajib menghidupkan peraturan yang memenuhi kebutuhan masyarakat.
c) Hakim melakukan “koreksi” terhadap kekeliluran dan kekosongan peraturan , untuk mengoreksi dan mengisi peraturan, dan.
d) Hakim melakukan pengahulusan hukum untuk mencapai tujuan hukum dan keadilan.
Sehingga sangat besar pengaruhnya dan efeknya hal ini apabila diterapkan dilembaga kehakiman di indonesia yang selama ini dapat kecaman sebagai hukum yang membela orang yang kaya ,hukum yang jahat dan tajam kebawah dan sebagainya, kalau hermeneutik diterapkan maka efeknya lembaga kehakiman akan baik di mata umum khususnya di mata rakyat yang selama ini menjadi korban dari ketidak pasti dan ketidak adilan hukum.
D. Teori Negara Hukum
Indonesia merdeka pada tahun 1945 tepatnya 69 sudah kemerdekaan Indonesia, ada perdebatan hebat antara para pejuang dalam memcetuskan dasar kemerdekaan Indonesia, hingga lahirlah sebuah sebuah dasar negara kita dan pedoman-pedoman pelaksanaan tata pemerintahan Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Repbulik Indonesia Tahun 1945. Dalam pembukaan (Preambule) aliene keempat menyebutkan bahwa: “Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Didalam pembukaan di atas sudah disebutkan tujuan nasional Indonesia, semua ini bisa di campai apabila ada yang mengawasi dan membatasi kekuasaan lembaga negara, dan dalam kontkes inilah peran dan fungsi hukum dalam Negara Indonesia. Negara Indonesia adalah negara hukum sebagaimana disebutkan dalam UUD NRI 1945 pasal 1 ayat 3 ”Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini sangat jelas menunjukkan bahwa yang mempunyai kekuasaan dan komando tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Hukum.
Menurut wirjono prodjodikoro.negara hukum berarti suatu negara yang didalam wilayahnya adalah :
1) Semua alat-alat perlengkapan dari negara,khususnya alat-alat perlengkapan dari pemerintaj dalam tindakannya baik terhadap para warga negara maupun dalam saling berhubungan masing-masing, tidak boleh sewenang-wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
2) Semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
 Ada beberapa pandangan dari negara hukum itu, diantaranya dari segi moral politik, menurut Franz Magnis Seno, ada empat alasan utama untuk menuntut agar negara diselenggarakan dan dijalankan tugasnya berdasarkan kepastian hukum; tuntutan perlakuan yang sama; legitimasi demokrasi; dan tuntutan akal budi.
Negara hukum itu lahir sebagai perlawanan terhadap kerajaan absolut yang selama ini terlalu berkuasa sehingga masyarakat seperti budak dan tidak memiliki kebebasan-kebebasan untuk berbuat semua hal di lakukan oleh raja, raja adalah wakil tuhan yang harus ditaati, maka dengan lahirlah negara hukum, kalau bicara negara hukum, ada tiga macam konsep negara hukum menurut Philipus M. Hadjon, rechtsstaat, the rule of law, dan Negara Pancasila. Pada konsep Negara Pancasila inilah yang dianut oleh Indonesia. Negara Pancasila adalah negara yang didasarkan pada Pancasila sebagai sumber hukum Indonesia secara ojektif juga merupakan suatu pandangan hidup, kesadaran, cita-cita hukum, serta cita-cita moral yang luhur meliputi suasana kejiwaan serta watak Indonesia. dengan demikian telah jelas hakim sebagai penegak hukum tidak di perbolehkan memutus sepihak dalam mengambil suatu keputusan sebagaimana di jelaskan dalam pasal 5 ayat 1 tentang undang-undang kekuasaan kehakiman mengatakan bahwa:
BAB III
METODE PENELITIAN

Objek penelitian ini adalah optimalisasi peran Komisi Yudisial dalam membentuk kekuasaan kehakiman yang independen. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan hukum primer, berupa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, literatur berupa buku yang relevan dengan objek kajian. Disamping itu, digunakan pula bahan hukum sekunder berupa kamus besar bahasa indonesia (KBBI).
Penelitian yang dilakukan dalam penyususnan Naskah Akademik ini menggunakan metode pendekatan normatif (pendekatan pustaka), yang memusatkan perhatian pada kajian tentang norma-norma yang terdapat dalam tinjauan pustaka. Dengan demikian penelitian yang mendasari penulisan karya tulis ini merupakan penelitian doctrinal dengan optic prescriptive (bersifat memberi petunjuk atau menjelaskan) guna menemukan kaidah hukum yang menentukan apa yang menjadi hak dan kewajiban yuridis dari subyek dan obyek hukum dalam situasi kemasyarakatan tertentu. 
Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah content analisys (analisis isi). Analisis konten ini didasarkan pada teori-teori yang ada. Content (isi) yang dimaksud adalah isi dari sumber data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Karena peneliti dalam hal ini menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia. Dengan analisis semacam ini diharapkan dapat memilah dan memilih data dari berbagai bahan pustaka yang ada dan searah dengan objek kajian yang dimaksud serta dapat menghasilkan deskripsi yang lebih obyektif dan sistematis mengenai solusi alternatif optimalisasi peran Komisi Yudisial dalam membentuk kekuasaan kehakiman yang profesional dan independen.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Urgensi Dibentuknya Komisi Yudisial
Semangat reformasi membawakan berbagai macam pengaruh dan perubahan terhadap kehidupan bangsa Indonesia dalam segala aspek kehidupan. Perubahan yang begitu tampak adalah bergesernya rezim otoritarianisme menjadi rezim yang demokratis. Hal ini dapat dilihat dari perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) Pasal 1 ayat (2) yang sebelumnya berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” menjadi “Kedaulatas berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Selain itu, perubahan juga tampak dalam sistem pemerintahan Indonesia yang sebelumnya pada masa orde baru berasaskan sentralisasi menjadi asas desentralisasi sejak pasca reformasi. Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berasaskan berlaku bahwa segala sesuatu dalam negara langsung di atur oleh pemerintah pusat dan daerah hanya tinggal melaksanakan segala apa yang telah diinstruksikan oleh pemerintah pusat tersebut, sedangkan Negara kesatuan dengan asas desentralisasi tersebut maka ada tugas-tugas tertentu yang dapat diurus sendiri oleh suatu daerah sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan kewenangan, keuangan, dan pengawasan sesuai dengan yang telah di atur di dalam undang-undang. Daerah diberikan kesempatan dan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sendiri yang disebut dengan daerah otonom. Pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah ini menurut Sri Soemantri merupakan hakikat dari negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Dengan demikian, perubahan tersebut menjadikan Negara Indonesia lebih demokratis Tidak cukup pada hal tersebut, pergeseran masa orde baru menjadi masa reformasi ditandai dengan transisi demokrasi itu juga ditandai dengan Independensi kekuasaan kehakiman sebagai pilar penting dalam negara hukum.
Independensi atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman tersebut dapat dilihat salah satunya dari amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang kemudian diikuti terbentuknya komisi yudisial. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 24B ayat (1) yaitu “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.” Selain itu juga dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dalam perihal menimbang yaitu “Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum menjamin kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan peradilan”; serta pada butir kedua dikatakan “Bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan hakim agung serta pengawasan hakim yang transparan dan partisipatif”. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa terbentuknya Komisi Yudisial merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki institusi peradilan yang senantiasa diharapkan terjaga independensi atau kemandirian dan akuntabilitasnya dalam menegakkan hukum dan keadilan dalam mewujudkan negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi berdasarkan hukum.
Pembentukan Komisi Yudisial ini adalah sebagai upaya untuk menangani berbagai masalah di lingkungan kekuasaan kehakiman yang meliputi: Kualitas dan integritas pengawas yang kurang memadai; proses pemeriksaan kedisiplinan yang tidak transparan; belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan untuk menyampaikan pengaduan, memantau proses serta hasilnya; semangat para elitis untuk membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman menjadi tidak seimbang dengan perbuatan yang dilakukan; serta tidak adanya kehendak dari pihak pimpinan lembaga peradilan itu sendiri baik dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi untuk menindak lanjuti hasil pengawasan. Selain itu juga tidak sedikit permasalahan dalam lingkup kekuasaan kehakiman berupa rendahnya integritas hakim sehingga cenderung merugikan rakyat dan pencari keadilan, rendahnya mutu putusan hakim sehingga tidak memuaskan rakyat, dan sebagainya sehingga citra kekuasaan kehakiman dimata masyarakat semakin buruk. Sangat ironi sekali ketika negara hukum yang demokratis atau negara demokrasi yang berlandaskan hukum mempunyai kekuasaan kehakiman yang rendah martabat dan citranya di hadapan rakyatnya, padahal adanya lembaga kekuasaan kehakiman tersebut merupakan pilar penting dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.
Berdasarkan berbagai macam permasalahan kehakiman di Indonesia seperti dijelaskan di atas tersebut kemudian salah satu faktor yang mendorong rakyat untuk mendesak agar dibentuknya pengadilan rakyat. Pengadilan rakyat yang dimaksud yaitu pengadilan atau lembaga penegak hukum yang berpihak pada kebenaran dan keadilan demi terwujudnya kesejahteraan rakyatnya. Menyikapi hal tersebut kiranya yang melatarbelakangi pentingnya pembentukan Komisi Yudisial untuk mengawal perilaku hakim demi terwujudnya hakim yang berintegritas, adil, profesional, dan Independen dalam menegakkan hukum di Indonesia, karena bagaimanapun hakim merupakan komponen penting dan esensial dalam kekuasaan kehakiman.
B. Pengaruh dan Peran Komisi Yudisial Terhadap Kekuasaan Kehakiman
Otoritarianisme yang terjadi pada masa orde baru telah mengakibatkan lembaga-lembaga tinggi negara tidak independen, karena tampuk kekuasaan di dominasi oleh kekuasaan eksekutif atau sering disebut executive heavy, sehingga dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dapat dikatakan tidak profesional. Karena itulah, pada masa reformasi yang merupakan masa transisi demokrasi begitu banyak pembentukan komisi-komisi negara sebagai state auxalary organ untuk memperbaiki peran lembaga tinggi negara sebagai state main organ. Sesuai dengan latar belakang dibentuknya komisi negara, khususnya dalam hal ini adalah Komisi Yudisial, yang ditengarai sebagai wujud dari semangat reformasi untuk menciptakan sistem penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang akuntabel serta memperbaiki institusi peradilan yang senantiasa independen atau merdeka dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam usianya yang masih dapat dikatakan muda ini, Komisi Yudisial sudah menuai banyak prestasi.
Secara umum berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 setelah amandemen mengamanatkan dua tugas utama Komisi Yudisial yaitu melakukan rekrutmen hakim agung dan mengawasi hakim. Hal ini erat kaitannya dengan Negara Indonesia sebagai negara hukum dimana dalam konsep negara hukum dijamin kekuasaan kehakiman yang merdeka,pertimbangan ini berasal dari pasal 24 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk meyelengarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” di karena hakim memeliki power yang kuat. Menurut Ahsin Thohari” lembaga peradilan menjadi  lemaga yang diyakini terkorup (judicial corruption) dan penuh dengan praktik-praktik yang sangat mencederai nilai-niali keadilan , seperti “memperdagangkan” perkara yang telah terjadi secara sestematis, dengan perilaku yang seperti maka lahirlah  KY (komisi yudisial) adalah lembaga negara yang mengawasi lembaga kehakiman serta lembaga negara yang mandiri dan pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluluran martabat serta perilaku hakim.kecemasaan terhadap monopoli kekuasaan terhadap lembaga kehakiman itulah melahirkan gagasan terbentuknya lembaga independen yang berada diluar MA, sebagai lembaga “external audiitor” terhadap hakim, yang dapat mengimbangi pelaksana kekuasaan kehakiman , adanya sistem pengawasan yang mengimbangi kekuasaan kehakiman diharapkan mendorong terciptanya peradilan yang lebih baik.
Peran komisi yudisial didalam pemberbaiki lembaga kehakiman ialah komisi yudisial harus menjadi pengawas ekternal yang berwenag dan bertugas secara preventif dalam menyeleksi  hakim  dan mengusulkan penegangkatan hakim, selain itu juga menjada martabat perilaku hakim sebagaimana yang didesain dalam 28B UUD 1945, jadi kalau komisi yudisial dalam begitu selektif dalam menentukkan para penengak hukum khususnya hakim maka perilaku hukum yang ada akan baik dan tidak ada lagi mafia-mafia hukum.
Dengan peran-peran yang disebutkan diatas Komisi Yudisial telah banyak pengaruhnya, di antaranya sebagai lembaga Negara yang mengawasi kehakiman telah banyak hakim-hakim yang telah di tangkap, pasca terbentuknya KY karena hakim-hakim tersebut melanggar kode etik dan sebagaiannya lagi adalah mafia-mafia hukum.
C. Optimalisasi Peran Komisi Yudisial Dalam Membentuk Kekuasaan Kehakiman Independen
Berdasarkan deskripsi peran dan pengaruh Komisi Yudisial yang sangat signifikan terhadap kekuasaan kehakiman sejauh ini, maka peran komisi Yudisial Republik Indonesia ini sangat penting untuk ditingkatkan demi terwujudnya kekuasan kehakiman yang berintegritas, independen dan profesional. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai hal yang diantaranya adalah: Pertama, menjadikan Komisi Yudisial tidak lagi sebagai komisi negara, akan tetapi menjadi lembaga tinggi negara yang sejajar dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK), dan Kepresidenan. Hal ini merujuk pada dasar dibentuknya komisi negara yang merupakan state auxalary organ yang berfungsi sebagai lembaga pendukung dan penunjang disebabkan tidak efektifnya fungsi state main organ. Hal ini tidak menutup kemungkinan adanya tafsir bahwa Komisi Yudisial hanya merupakan komisi negara yang status kedudukannya hanya sebagai state auxalary organ. Jika hal itu terjadi, tentunya justru akan memperlemah peran Komisi Yudisial, karena hal yang dapat dikatakan tidak mungkin state auxalary organ dapat mengawasi secara chek and balances fungsi state main organ.
Oleh karena itu, dengan adanya amanat langsung dari UUD NRI 1945 sebagai konstitusi terhadap kedudukan Komisi Yudisial ini, status state auxalary organ atau keumngkinan adanya tafsir menuju hal tersebut hendaknya dirubah menjadi state main organ yang berfungsi sebagai lembaga pengawas dengan prinsip chek and balances. Hal ini dapat dengan merubah nomenklatur Komisi Yudisial yang tidak lagi dengan nama komisi, akan tetapi dengan lembaga tinggi atau peradilan tinggi.
Selain itu, untuk memperkuat peran Komisi Yudisial ini juga penting untuk memberikan kewenangan lebih kepada Komisi Yudisial dalam mengangkat dan mengawasi hakim. Dalam hal mengangkat hakim misalnya, peran Komisi Yudisial tidak hanya terbatas pada mengusulkan kepada DPR, akan tetapi ikut membahas pengangkatan hakim, karena bagaimanapun tidak dapat dipungkiri citra DPR dewasa ini tampak kental akan kepentingan politik. Begitupun dengan penetapan hakim yang selama ini ditetapkan oleh presiden, hendaknya dilimpahkan kepada Komisi Yudisial, karena dengan demikian akan menutup kemungkinan adanya intervensi dari lembaga kepresidenan dalam mengangkat dan memilih hakim yang berintegritas, independen, dan profesional. Dengan demikian diharapkan peran Komisi Yudisial akan lebih efektif dan efisien dalam membentuk kekuasaan kehakiman yang independen, profesional dan berintegritas.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Komisi Yudisial merupakan lembaga yang dibentuk setelah adanya perubahan amandemen UUD NRI 1945 yang bertujuan untuk menciptakan sistem penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang akuntabel serta memperbaiki institusi peradilan agar senantiasa independen atau merdeka dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Adanya Komisi Yudisial telah diamanatkan secara langsung oleh UUD NRI 1945 sebagai konstitusi Indonesia dan pegangan dalam penyelenggaraan negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 24B. Secara umum adanya Komisi Yudisial ini bertugas untuk melakukan rekrutmen hakim agung dan mengawasi hakim demi terwujudnya kekuasaan kehakiman yang profesional, berintegritas dan independen sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI 1945.
Melihat tugas, fungsi dan tujuan dari didirikannya Komisi Yudisial tersebut maka sangat penting kiranya unuk meningkatkan peran dan kedudukan Komisi Yudisial dalam struktur ketatanegaraan Indonesia agar sesuai dengan lembaga tinggi negara. Komisi Yudisial yang merupakan komisi negara tidak hanya berdiri sebagai komisi negara yang berfungsi sebagai lembaga pendukung atau penunjang lembaga tinggi negara karena kedudukannya sebagai state auxalar organ, akan tetapi bagaimana eksistensi Komisi Yudisial juga berfungsi sebagai state main organ yaitu lembaga inti negara yang befungsi mengawasi dan melaksanakan rekrutmen hakim demi terciptanya lembaga negara yang berkeadilan dengan asas chek and balances.
Daftar Pustaka
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2003.
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005.
Faisal, Memahami Hukum Progresif, Thafa Media, Cet Ke-I, Yogyakarta, 2014.
Imam Anshori Saleh, Konsep Pengawasan Kehakiman, Cetakan Pertama, Setara Press, 2014, Malang.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2014.
J. Pajar Widodo, Menjadi Hakim Progresif, Indepth Publising, Bandar Lampung, 2013.
Kaelan, Pendidikan Pancasila, Cet Ke-IX, Paradigma, Yogyakarta, 2010.
M. Syamsuddin, Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana Persana Media Group, Jakarta, 2012.
Moh.Mahfud MD, Dekonstruksi Dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Thafa Media, Yogyakarta. 2013 
Ni’matul Huda, Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI (Kajian Terhadap Daerah Istimewa, Daerah Khusus, dan otonomi Khusus), Cetakan 1, Nusa Media, Bandung. 2014.
Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara, Perdebatan Dan Gagasan Penyempurnaa, Cet. Pertama, FH UII Press,  2014. Yogyakarta.
Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Kencana, Jakarta, 2012.
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Peradilan di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta 2006. 
Sarjipto Rahardjo, Penengakan Hukum Progresif , Kompas, Jakarta, 2010. 
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutik Dan Pengembangan Ulumul Qur’an,  Pesantren nawesea Press 2009.
Sudikno Mertokosumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, cet IV, 2008.
Wasis SP, Pengantar ilmu hukum, UMM Press , Malang 2002.

Post a Comment

0 Comments