Karya: Zen AR (*)
Di senyap waktu Tahajjud, ia menangis di atas sajadahnya. Tak kuasa meredam gelora sunyinya. Tak mampu menahan ronta-ronta kerinduannya. Tak bisa membahasakan betapa cinta mendera dan Chameela di rasanya.
Sejak Chameela dari Ma’had Itmamul Maram di Madura ke Ma’had Mishbahus Shudur di Surabaya ini, ia merasakan cintanya kepada Ustadz yang telah mengajarnya tiga tahun lalu dengan berbagai fan ilmu semakin memampati ruang-ruang hatinya yang kian hari kian dibuat rindu kesunyian. Entah sejak kapan Chameela menyimpan renjana mendalam untuk Ustadz yang namanya hampir sama dengan nama pesantren salaf yang ada di Madura itu. Memang Ustadz Mufy ketika menjelaskan isi kitab dan bercerita kisah-kisah teladan langsung mendasar di hati para santri yang memang sungguh-sungguh memerhatikan dawuh-dawuhnya. Ustadz satu ini, selain alim dan tanpan, juga lemah-lembut tanpa pilih makhluk. Apa karena itu Chameela mencintainya, sampai-sampai merana gara-gara tak bisa menyahkan bayang-bayang sejuknya?
Aduhai! Begitulah cinta. Kapan, di mana dan kepada siapa pun saja akan leluasa menancap di lubuk hati, menguasai beribu emosi yang bersarang di otak, tanpa bisa dielak. Karena cinta itu seperti ilham yang suci. Namun awas, jangan sampai bisik-bisik syetan dan nafsu menodai cintamu Meel, pesan hatinya.
Gadis cerdas itu kini masih tenggelam karam dalam ratapan rindunya di hadapan Sang Maha Sempurna. Menikmati kemanisan airmatanya yang membasahi wajahnya yang penuh aurora. Ratapan sunyinya kian membuncah, memecah langit yang berhias bintang-gemintang.
“Ya Tuhan, kenapa aku lancang mencintai Ustadzku? Kenapa berani-beraninya aku merindukannya Gusti? Salahkah jika aku mencintai dan merindukannya? Salahkah aku mendambakannya jadi pangeran, tempatku mengabdikan diri sepenuh cinta yang dahsyat ini, dengan senantiasa berasa akan ridla-Mu? Jika cintaku benar-benar cinta yang Kauanugerahkan, jika memang beliau yang terbaik bagiku menurut-Mu, aku mohon kirimkanlah malaikat hatiku itu kepadaku. Apabila sebaliknya, hapuslah segera dalam kitab cintaku yang selalu mendambakannya. Beliau cukup jadi Ustadzku saja.”
Karena sang Ustadz selalu ada dalam hatinya, menjadi doa cinta di setiap hembusan napasnya, suatu kala Chameela menulis risalah cinta. Lalu dikirimkannya surat itu ke Madura. Dengan harapan bisa mendarat di tangan kekasihnya yang ada di Ma’had Itmamul Maram Pasongsongan.
***
Al-Ma’had Itmamul Maram Al-Islamy As-Salafy
“Assalamualaikum.” panggil pemuda bermotor khas.
“Wa ‘alaikumsalam,” sambut seorang bindara berbaju putih dan berkobyah putih dengan ramah seraya mendekat.
“Ada yang bernama usatadz Mufy el-Maram?” tanya penghantar pos itu sembari mengurai senyum sopan. Di tangannya terlihat amplop.
“Saya sendiri,” tersenyum bindara itu berujar .
“Oh…,” mas pos senyum lebar. “Ini Ustadz,” lanjutnya memberikan amplop yang sedari tadi dipegangnya. “Dan ini tanda tangan!”
Ustadz Mufy menerima lalu menandatangani daftar tanda terima yang diberikan mas pos. “Terima kasih Mas,” ucapnya kemudian.
“Sama-sama,” tukas mas pos seraya menerima kembali kertas yang sudah ditanda tangani.
Beberapa menit berikutnya setelah mas pos pamit undur, Ustadz Mufy bergegas ke kamarnya. Dari siapa ini? tanya hatinya. Ustdz tanpan itu menerka-nerka siapa pengirim amplop putih kebiruan bertulisan tinta hijau. Kayaknya aku kenal tulisan ini. Siapa ya? masih raba terkanya. Akhirnya ia membukanya. Ketika ia membaca, terkejutnya luar biasa. Ia terus membacanya kata demi kata:
Yth. Ustadz tercinta Mufy el-Maram
Pertapaan Suci
Ma’had Itmamul Maram
Pasongsongan, Sumenep
Assalamualaikum W. W.,
Salam cinta dan salam rindu senantiasa saya haturkan kepada Ustadz meski hanya melalui sepi.
“Saya mohon maaf Ustadz”. Mungkin kalimat ini yang tepat pertama kali saya rapal sebagai pengantar kalimat-kalimat selanjutnya. Karena saya sadar saat ini saya lancang.
Mutira-mutiara mata saya selalu berderai ketika gelora memuncak dalam kalbu. Gelora itu seperti duri namun yang tampak dan memenjara saya adalah mawarnya. Saya datang hanya untuk Ustadz. Maka saya mohon terimalah seutuhnya. Saya mencintai Ustadz. Saya mendamba sepenuh-penuh jiwa.
Dengan apa lagi saya akan membahasakan sabda-sabda cinta yang sudah menjadi nyanyian-nyanyian merpati putih yang sedang kerinduan ini, supaya sempurna dalam ujaran? Saya menaruh hati untuk Ustadz sejak Ustadz masuk ke kelas dan mengajar kami. Ketika pertama kali saya menemukan Ustadsz dalam renjana, saya lunglai tiada terkira. Saya sama sekali tidak kuasa. Namun mudah-mudahan kertas tak bernilai ini bisa mewakili, meski pun harus membuat Ustadz setengah tidak percaya atau bahkan kecewa akan sikap saya yang keterlaluan ini. Suntinglah saya Ustadz. Atau, orang tua saya yang akan melamar Ustadz untuk putrinya yang sangat mencintai Ustadz karena Allah. Izinkanlah saya setia mengabdikan diri setulus hati kepada Ustadz dengan harapan bisa mendapatkan ridla-Nya. Jika nanti saya harus menerima takdir lain rupa, izinkanlah saya tetap mencintai Ustadz, sampai bersatu di surga-Nya.
Demikian bahasa yang terlalu berani ini. Saya akan jadi pertapa cinta jika sudah tidak menemukan tempat di hati Ustadz selamanya. Karena saya sudah menemukan Ustadz jadi malaikat cinta dalam doa malam saya.
Wassalamuaalikum Wr.Wb.
Surabaya, 15 Maret 2012
Dari gadis yang terpenjara:
Chameela El-Mahabba
Ustadz Mufy terenyuh. Rasa kasihnya merasakan apa yang dirasakan Chameela selama ini. Seandainya ia tidak bertunangan, seandainya tidak ada cinta yang sudah mengakar dalam hayatnya, dari saking tidak teganya, ia pasti membiarkan gadis yang tengah kehabisan daya itu menempati istana cintanya sebagai kekasih yang dikirim Tuhan untuknya. Lalu pemuda alim yang lembut hati itu beranjak mengambil alat tulis setelah menaruh risalah kasih sedalam-dalamnya. Ia menulis balasan untuk gadis merana yang mendambanya.
***
Al-Ma’had Mishbahus Shudur Al-Islamy As-Salafy
Lima hari berikutnya. Gadis manis memesona yang berbusana muslimah putih dan biru itu pilu ketika membaca surat balasan. Bagaimana tidak, kalau orang yang dicintainya seolah memotong dambanya dengan bahasa iba seperti ini:
Yth. Adikku, Ning Chameela el-Mahabba
Penjara Cinta Suci
Ma’had Mishbahus Shudur
Surabaya
Assalamualaikum Wr. Wb.,
Semoga Ning Chameela senantiasa berada dalam Belas-kasih dan Ridla-Nya.
Maafkan saya Ning, cinta saya sudah disunting pesona kembang Panaongan. Saya sudah ada dalam ikatan ikrar suci sejak lima tahun lalu. Saya bukan sekadar paham tapi bahkan merasakan gelora cinta yang sudah menjelma biola rindu di hati Ning. Sekali lagi saya minta maaf, tidak bisa memenuhi sabda cinta Ning yang sudah saya jajaki kedalamannya, sudah saya sentuh ketinggiannya, dan sudah saya rasakan dahsyatnya. Apa boleh buat, ketika ada yang lebih mendahului Ning menduduki singgasana di hati saya. Dan sebentar lagi saya akan melangsungkan perknikahan. Saya harap Ning memaklumi.
Ning harus yakin suatu saat akan mendapatkan jodoh yang shalih, yang melebihi saya dalam segi apa saja. Dan jangan menyembah cinta Ning. Sadarilah cinta adalah anugerah yang merupakan amanah. Atau anggaplah itu ujian yang menuntut ketabahan. Ingatlah Allah Maha menerima cinta hamba-hamba-Nya.
Saya tidak bisa mengurai kata-kata panjang luas. Takut Ning malah tambah sakit hati. Cukup Ning mengerti surat dan keberadaan saya saat ini.
Sekian dari saya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Pasongsongan, 17 Maret 2012 Mufy el-Maram
Chameela sekarang merasakan ada beribu sembilu menusuk hatinya. Meskipun halus kata-kata itu membuat airmatanya semakin renyai berderai. Perempuan mana yang akan terima jika kekasihnya ada dalam pelukan orang lain.
“Jangan nangis terus Dik,” ucap ketua kamarnya seraya memeluk tubuhnya yang menyusut, seperti ibu kepada anaknya. “Adik harus tabah. Adik harus kuat. Adik harus mengerti. Pencinta sejati itu hanya cinta saja, tidak mengharapkan apa atau siapa. Melainkan mengharapkan cinta Yang Maha Cinta.”
Wafira melepaskan pelukannya lalu mengusap-usap kepala Chameela. Gadis yang sedang merana cinta itu mencoba melepaskan kekasihnya ke dalam pelukan orang lain yang lebih berhak. Ia sadar, kalau memaksakan kehendak terhadap apa yang bukan miliknya merupakan hal yang melanggar agama. Memang seharusnyalah gadis cinta itu menerima apa yang sudah digariskan sebagai takdir oleh Tuhan. Kini ada oase keikhlasan dalam hatinya.
“Iya Mbak, aku rela. Mudah-mudahan Ustadz Mufy bahagia dunia akhirat bersama perempuan pilihannya. Dan aku tahu perempuan pilihan Ustadz Mufy itu mbak Jelita. Mereka pasangan yang serasi dan sama-sama baik hati,” tutur Chameela dalam isak-isaknya yang mulai mereda. Meskipun kentara sekali matanya sembab airmata. “Tapi aku akan mencintainya sampai kapan pun Mbak. Boleh kan?”
Betapa perih hatinya. Mau tidak mau ia harus menerima kenyataan yang tak sesuai dengan harapan. Ia hanya bisa pasrah dan berserah sebulat-bulatnya kepada yang Maha Tahu. Mendengar kata-kata gadis lembut itu, Wafira hanya tersenyum seraya melegakan rongga napasnya yang berat iba tanpa jawab akan istifhamnya.
Sejak itulah, Chameela memilih sendirian tanpa meraibkan rasa cintanya pada Ustadz Mufy. Ia tidak mau mencintai orang lain yang belum tentu seperti Ustadz Mufy yang baik rupa dan kaya hati. Ia diam bersama munajat-munajat cinta yang tulus melepas kekasihnya terbang bersama bidadari yang bukan dirinya.
***
Ketika pernikahan sepasang kekasih itu sudah selesai digelar, Ustadz Mufy benar-benar menjalani bahagia cinta yang berbunga-bunga bersama istrinya yang jelita; namanya, rupanya, tutur bahasanya, sikap-sikapnya dan tentu hatinya. Namun malang, belum genap delapan bulan istrinya harus pergi untuk selama-lamanya. Jelita mengidap kanker darah stadium tinggi tanpa setahu suaminya. Ia meninggal di rumah sakit saat dioperasi.
“Mas, aku rela dimadu,” tiba-tiba kata istrinya seraya mengurai senyum pada detik-detik yang menuntut ketabahan beruntai kerelaan beserta doa penuh asa dan kepasrahan, saat menjelang di bawa ke ruang opresi. “Carilah dan menikahlah dengan perempuan yang bisa membahagiakan Mas dunia-akhirat. Aku akan bahagia sekali kalau Mas menikah lagi. Kalau sama-sama ditakdirkan masuk surga, istana kita kan ramai. Mas didampingi dua permaisuri yang menyayangi Mas sepenuh hati. Dan, ribuan bidadari.” Mendengar kata-kata istrinya yang melambungkan pikiran, Ustadz Mufy mengangguk lemah. Lalu bersama airmata linangnya mengecup kening istrinya yang kuning bersih alami dengan mesra terakhir.
Setelah Jelita kembali ke hadirat Tuhan yang lebih berhak atasnya, tidak ada yang pantas menggantinya di sisi Ustadz Mufy. Dunia terasa sempit. Bagi Ustadz Mufy, mencari pengganti istrinya yang biasa dipanggil Hural ‘ain itu bukan hal yang mudah, meskipun banyak orang mengatakan dunia tak selebar daun kelor, dan kaum Hawa lebih banyak dari pada kaum Adam. Karena memilih satu di antara seribu aneka bukan hal gampang ditentukan. Itu tidak bisa diukur dari lahiriah saja. Yang menjadi ukuran Ustadz Mufy adalah hati dan keridlaan Yang Rahman. Paling tidak seperti istrinya yang telah memenuhi panggilan-Nya.
Suatu malam ia bermimpi istrinya serba putih di alam kebiruan. Dalam mimpi itu ia menemukan jawaban dari kata-kata isterinya yang jelita lahir batin, bahwa yang pantas menggantikannya adalah gadis sempurna menurut selera Qur’any. Tiada lain adalah Chameela yang selama ini bertapa bersama cintanya.
Setelah mendapatkan petunjuk, Ustadz Mufy benar-benar melamar. Airmata haru gadis cantik memesona itu sekancap rindunya, ketika kekasihnya akan rebah dalam pelukannya. Chameela menerima dengan seutuh jiwa dan cintanya yang tak pernah memudar sedikit pun. Orang tua mereka haru biru saat melihat mereka bersatu.
Upacara pernikahan usai digelar. Sepasang merpati kasih memasuki malam pertama dengan hati yang berbunga penuh lantunan tasbih dan tahmid kepada Pencipta Semesta.
“Mas Ustadz, ayo!” ajak Chameela
“Mau ke mana Ratu?” tanya suaminya seraya menggelar sajadah di pelaminannya.
Pipi Chameela yang putih merona kian indah, berhiaskan senyumnya yang manis. Seolah memberikan penjelasan kepada pangeran tercintanya. Ustadz Mufy pun mengerti arah kata-kata istrinya.
“Sebentar dulu Ratuku, saya mau sholat sunnah dulu.” Lagi-lagi ustad Mufy memanjakannya seraya menahan senyum bahagia.
“Cepetan! Dinda tunggu, paling lama tiga menit,” ucap istrinya memanja, meratu keburu, sembari merebah diri di ranjangnya.
Lima menit berikutnya, seusai berdoa Ustadz Mufy memenuhi ajakannya. Mereka bercengkraman dengan bahasa beretorika surgawi di tengah-tengah kesunyian, hingga tiba di puncak malam. Meraih pahala haji. Meraih pahala mujahadah fi sabibillah dengan cinta yang dipelihara tetap suci. Subhanallah! Agung Allah yang telah menciptakan manusia berpasang-pasangan, meridlai mereka setelah ikrar suci pernikahan.
Lubsel: Senin, 23 April 2012
(*) Zen AR adalah nama pena dari Ach. Zaini. Ia lahir di pesisir utara, tepatnya di Rajun Pasongsongan pada 1995. Anak asuh PADI-LS dan ManGseN puisi (PP Annuqayah Lubangsa Selatan). Selain menulis puisi, ia juga menulis prosa. Kumpulan puisinya yang terbaru: Artate, 2012. Email: (zen_arjun@yahoo.com). Sekarang duduk di bangku Kelas XI IPS 1 MA 1 Annuqayah, sekaligus tinggal di Jl. Makam Pahlawan PP. Annuqayah Lubangsa Selatan Blok C/02 Guluk-Guluk Sumenep Madura 69463.
naskah lomba KTI Dan menulis cerpen se-madura yang diadakan oleh osis sma tahfidz darul ulum banyuanyar palengaan pamekasan jawa timur
0 Comments