BESCHIKKING (KTUN)



BESCHIKKING (KTUN)
Dr. Ridwan R. SH., MH
(dosen fakultas Hukum UII)

Pengertian dan Unsur-unsur Keputusan
Pengertian: pernyataan kehendak sepihak secara tertulis (schriftelijk-en eenzijdige wilsverklaring) organ pemerintah berdasarkan wewenang yang berkenaan dengan hal khusus, konkret, dan individual dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum tertentu (penentuan, penghapusan, atau pengakhiran hubungan hukum yang sudah ada, atau menciptakan hubungan hukum baru).

Jenis dan Macam-macam Keputusan:
1.      KTUN Intern dan KTUN Ekstern.
KTUN intern (interne beschikking) yakni keputusan yang ditujukan ke dalam (naar binnen gericht)  lingkungan administrasi negara. KTUN ekstern (externe beschikking) adalah keputsan yang ditujukan ke luar (naar buiten gericht), yakni ditujukan kepada warga negara atau badan hukum perdata.
2.      KTUN Deklaratoir dan KTUN Konstitutif.
KTUN deklaratoir adalah keputusan yang tidak mengubah hak dan kewajiban yang telah ada, tetapi sekadar menyatakan hak dan kewajiban tersebut (rechtsvaststellende beschikking). KTUN konstitutif adalah keputusan yang melahirkan atau menghapuskan hak dan kewajiban subyek hukum (rechtscheppend beschikking).
3.      KTUN Menguntungkan dan KTUN yang Memberi Beban.
KTUN yang menguntungkan yaitu keputusan memberikan hak-hak bagi seseorang atau badan hukum perdata (begunstigende beschikking). KTUN yang memberi beban adalah keputusan yang meletakkan kewajiban-kewajiban tertentu bagi seseorang atau badan hukum perdata (belastende beschikking).
4.      KTUN Singkat dan KTUN Permanen.
KTUN singkat (eenmalig) adalah keputusan yang hanya berlaku sekali atau keputusan sepintas lalu. Dalam istilah lain disebut keputusan yang bersifat kilat (vluctige beschikking). KTUN permanen adalah keputusan yang memiliki masa berlaku yang relatif lama.
  1. KTUN Bebas dan KTUN Terikat. KTUN bebas (vrije beschikking) adalah keputusan yang didasarkan pada kewenangan bebas (vrije bevoegdheid). KTUN terikat (gebondend beschikking) adalah keputusan yang dikeluarkan atas dasar wewenang terikat organ pemerintah.
6.      KTUN Perorangan dan KTUN Kebendaan.
KTUN perorangan (persoonlijk beschikking) adalah keputusan yang diterbitkan berdasarkan kualitas pribadi orang tertentu atau keputusan yang berkaitan dengan orang seperti pengangkatan atau pemberhentian seseorang sebagai pegawai, keputusan mengenai surat izin mengemudi, dan sebagainya. KTUN kebendaan (zakelijk beschikking) adalah keputusan yang diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan atau keputusan yang berkaitan dengan benda, misalnya sertifikat hak atas tanah, izin PKL, dan lain-lain.

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU PTUN, Keputusan:Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”. Berdasarkan definisi ini tampak bahwa KTUN memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
a)      Penetapan tertulis;
b)      Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
c)      Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d)     Bersifat konkret, individual, dan final;
e)      Menimbulkan akibat hukum
f)       Seseorang atau badan hukum perdata.

Berdasarkan Pasal 1 angka 7 UU No. 30 Tahun 2014 tenang Administrasi Pemerintahan (Adpem); Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut KTUN atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Syarat-syarat Keputusan
Berdasarkan norma Hukum Administrasi, syarat keputusan itu mencakup syarat material dan syarat formal. Syarat material keputusan adalah; a) dibuat oleh organ pemerintah yang berwenang; b) tidak boleh memuat kekurangan atau cacat hukum; c) tidak boleh bertentangan dengan peraturan dasarnya. Sedangkan syarat formal keputusan adalah; a) dibuat berdasarkan prosedur yang ditentukan dalam peraturan dasarnya; b) diberi bentuk yang sudah ditentukan; c) penentuan waktu berlaku; d) pengumuman (bekendmaking) atau pemberitahuan kepada yang terkena keputusan; e) tandatangan (ondertekening) pejabat yang berwenang.
Berdasarkan Pasal 52 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, syarat sahnya keputusan itu meliputi a) ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; b) dibuat sesuai dengan prosedur; c) substansi yang sesuai dengan obyek keputusan. Selanjutnya disebutkan bahwa keputusan itu harus didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).


Bentuk dan Isi Keputusan Tata Usaha Negara
1)      Nama dan alamat lembaga atau instansi yang berwenang.
2)      Nomor keputusan dan hal yang diputuskan.
Misalnya: Keputusan No. --/--/--/2011 tentang ....
3)      Konsiderans
Memuat latar belakang, alasan, dan maksud dikeluarkannya keputusan, serta dasar kewenangan pembuatan keputusan. Pada umumnya konsiderans ini terdiri dari “menimbang” dan “mengingat”. Jika hal yang dipertimbangkan itu terdiri dari lebih dari satu, dibuat secara urut dengan menggunakan huruf kecil a, b, c, dan seterusnya, misalnya:
Menimbang:    a. bahwa....
                                   b. bahwa....
                                    c. bahwa....
Berbeda dengan “menimbang” pada peraturan perundang-undangan, yang umumnya memuat dasar filosofis, sosisologis, dan yuridis, dalam hal keputusan cukup menunjuk pada maksud dan tujuan spesifik dikeluarkannya keputusan.

Pada konsiderans “mengingat”, di dalamnya disebutkan peraturan perundang-undangan berikut pasal yang terkait langsung dengan materi keputusan.[1] Jika peraturan perundang-undangan  yang terkait dengan keputusan itu lebih dari satu, dibuat secara urut dengan menggunakan angka 1, 2, dan seterusnya, misalnya:
Mengingat:      1.........
                        2.........
                        3.........
Jika dasar kewenangannya terdapat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, dibuat secara berurutan sesuai dengan urutan dalam sistem hirarki peraturan perudang-undangan. Peraturan yang lebih tinggi mendahului peraturan yang lebih rendah. Jika peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan itu sederajat, maka peraturan perundang-undangan yang tahun keluarnya lebih lama didahulukan daripada peraturan yang lebih baru.
Dalam praktik, sering ditemukan tanpa menyebutkan pasal peraturan perundang-undangan, dan sering dicantumkan sekian banyak peraturan perundang-undangan, padahal tidak ada kaitan langsung dengan keputusan. Kenapa dalam hal pembuatan keputusan itu sebaiknya mencantumkan pasal  tertentu yang terkait, bukan menyebutkan sekian banyak peraturan yang tidak ada kaitan langsung? Karena keputusan itu memiliki sifat norma yang konkret-individual, dalam arti tertentu mengenai obyek yang ditetapkan. Oleh karena itu, dianggap berlebihan jika yang disebutkan itu peraturan perundang-undangannya, tanpa menyebutkan pasal yang menunjuk langsung kewenangan pembentukannya, apalagi jika peraturan perundang-undangan itu tidak ada relevansinya dengan keputusan yang bersangkutan. Dalam suatu peraturan perundang-undangan, umumnya terdapat sekian banyak kewenangan. Tidak semua kewenangan yang ada dalam peraturan perundang-undangan itu menjadi dasar pembuatan keputusan. Berbeda halnya dalam konsiderans “mengingat” suatu peraturan. Peraturan perundang-undangan memiliki sifat norma yang umum-abstrak dan materi muatannya mencakup banyak hal, karena itu konsiderans “mengingat” suatu peraturan perundang-undangan itu dapat mencantumkan sekian banyak peraturan terkait, tanpa harus menyebut pasal-pasal tertentu.
Misalnya: Pasal 2 PP No. 20 Tahun 1975 menentukan bahwa Presiden berwenang mengangkat pegawai negeri sipil pangkat pembina tingkat I golongan IV/b ke atas. Konsideran “mengingat” keputusan pengangkatan ini seharusnya hanya menyebutkan Pasal 2 PP No. 20 Tahun 1975, bukan semata-mata menyebutkan PP-nya, sebab dalam PP tersebut terdapat sekian banyak kewenangan lain, selain kewenangan Presiden.
Dimungkinkan pula dalam konsiderans “mengingat” ini ada; membaca, memperhatikan, atau mendengar. Konsiderans “membaca”, umumnya berkenaan dengan keputusan yang didahului dengan permohonan. Lembaga, organ, atau instansi yang oleh peraturan perundang-undangan dimungkinkan menerima permohonan, wajib menjawab permohonan yang diajukan dengan mengeluarkan keputusan baik keputusan itu mengabulkan maupun menolak permohonan. Pengabaian kewajiban menjawab permohonan, dapat digugat di PTUN, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN.
Konsiderans “memperhatikan” dan “mendengar” umumnya berkenaan dengan keputusan lain yang terkait, petunjuk pelaksanaan, petunjuk teknis, keputusan rapat, dan lain-lain.

4)      Diktum (hal pokok yang diputuskan), dengan kalimat, MEMUTUSKAN:
Diktum ini berisi pernyatan tentang peristiwa hukum konkret dan individual, misalnya: mengangkat si A sebagai panitia ...., memberhentikan si B sebagai pegawai..., dan lain-lain. Isi diktum ini dapat memuat lebih dari satu peristiwa hukum konkret dan individual, tergantung cakupan kewenangan yang terdapat ketentuan pasal dalam suatu peraturan perundang-undangan. Jika yang ditetapkan itu lebih dari satu hal, dibuat secara urut dengan menggunakan redaksi kesatu, kedua, dan seterusnya setelah kalimat “menetapkan”, misalnya:
Menetapkan:
KESATU        : .........
KEDUA          : ..........
KETIGA         : .........
Dalam keputusan digunakan kalimat kesatu, kedua, ketiga, dan seterusnya, bukan pasal-pasal dan juga bukan pertama, kedua, dan seterusnya. Jika digunakan kata pertama, maka urutannya adalah berikutnya, kemudian, dan terakhir. Pasal-pasal digunakan dalam peraturan, bukan dalam diktum keputusan.
Isi dan cakupan diktum itu tergantung dari ruang lingkup kewenangan yang diberikan dalam peraturan dasarnya.
Dalam beberapa keputusan sering ditemukan dalam diktum ini penetapan berlaku; misalnya, “Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”. Hal ini tidak tepat, karena penetapan mulai berlaku itu bukan isi diktum tetapi syarat dari keputusan, yang terpisah dari diktum.

5)      Penetapan waktu berlaku: Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Pada umumnya, setelah kalimat “...mulai berlaku pada tanggal ditetapkan” ada tambahan redaksi; “dan akan ditinjau kembali apabila ada kekeliruan atau kesalahan dalam keputusan ini”.
Kalimat seperti itu – disebut veilligheidsclausule – tidak diperlukan, karena di samping mubazir, juga bertentangan dengan asas het vermoeden van rechtmatigheid, rechtszekerheidsbeginsel, asas contrarius actus similiter fit, dan bevoegheidsbeginsel.[2]

6)      Tempat dan tanggal penetapan serta tanda tangan pejabat yang berwenang.
Pada umumnya, pada bagian ini terdapat kalimat; “Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”. Sesudah itu, dilanjutkan dengan; ditetapkan di...., kemudian tanda tangan pejabat.

7)      Pemberitahuan (Bekendmaking).
Berbeda dengan peraturan perundang-undangan yang memiliki media untuk memberitahukan atau mengumumkan saat berlakunya seperti melalui Lembaran Negara/Daerah dan Berita Negara/Daerah, keputusan diberikan langsung kepada yang bersangkutan. Dimungkinkan pula ada lembaga, organ, instansi, atau pihak lain yang terkait dengan keputusan tententu dan perlu mengetahuinya. Untuk itu dapat dibuat tembusan, setelah tanda tangan pejabat yang mengeluarkan.[3]

8)      Lampiran (jika diperlukan).

9)      Keputusan yang memuat nama-nama sekian banyak orang cukup dibuat satu format keputusan, dan nama-nama orang yang dimaksud dalam keputusan itu disebutkan semua dalam lampiran, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari keputusan itu.



[1] Kadang-kadang peraturan perundang-undangan tidak secara tegas dan jelas memberikan wewenang untuk pembuatan dan penerbitan keputusan, tetapi tersirat dalam rumusan pasal. Keputusan yang dibuat dengan kewenangan yang diberikan dengan jelas dan tegas disebut dengan keputusan terikat (gebonden beschikking), sedangkan yang tidak tegas atau tersirat disebut keputusan bebas (vrije beschikking). Pembagian ini berkaitan dengan dasar pengujian (toetsingsgronden) ketika timbul sengketa atas keputusan itu. Keputusan terikat diuji dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan keputusan bebas diuji dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
[2] Dengan mencantumkan veilligheidsclausule dalam keputusan, berarti keputusan itu memberi wewenang kepada pejabat yang terkait dengan keputusan itu untuk mencabut. Padahal secara normatif kewenangan membuat, menerbitkan, mengubah, atau mencabut keputusan adalah dari peraturan perundang-undangan, bukan dari keputusan. Dengan adanya asas contrarius actus yang melekat pada setiap keputusan, maka perubahan dan pencabutan KTUN ada pada pejabat yang mengeluarkannya. Artinya, sudah dengan sendirinya perubahan dan pencabutan KTUN dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan, tanpa perlu mencantumkan veilligheidsclausule.
[3] Terkait dengan tenggang waktu gugat (bezwaartermijn) dalam sengketa tata usaha negara, pemberitahuan ini melahirkan dua teori yaitu teori penerimaan (aanvangstheorie) dan teori pengiriman (verzenstheorie). Berdasarkan teori pertama, tenggang waktu gugat itu dihitung sejak diterimanya keputusan, sedangkan berdasarkan teori kedua, dihitung sejak keputusan itu dikirimkan. Pasal 55 UU No. 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara”, yang berarti menganut teori pertama.

Post a Comment

0 Comments