Norma Hukum Pengawasan Pemerintahan



Norma Hukum Pengawasan Pemerintahan
Dr. Ridwan R. SH., MH
(dosen fakultas Hukum UII

Norma: aturan, ukuran, atau kaidah yang dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai atau membandingkan sesuatu. Aturan atau ketentuan yang mengikat warga kelompok dalam masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan, dan kendalian tingkah laku yang sesuai dan diterima.
Secara garis besar, norma atau kaidah itu memuat tiga komponen; Pertama, perintah, yakni  kewajiban untuk melakukan sesuatu; Kedua, larangan yaitu kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu atau larangan untuk melakukan sesuatu; Ketiga, perkenan yaitu boleh melakukan sesuatu.
Norma Agama: aturan yang bersumber dari ajaran agama; dalam Islam isinya tidak hanya tiga tetapi mencakup: wajib, sunah, mubah, makruh, haram (al-ahkam al-khamsah). Kalangan ulama Hanafiyah merumuskannya bukan lima tetapi tujuh (al-ahkam al-sab’ah), yakni fardhu, wajib, tahrim, karahah tahrim, karahah tanzih, nadb, dan ibahah. Menurut mereka, jika perintah itu didasarkan pada dalil qath’i yang berasal dari al-Qur’an dan Hadis mutawatir, maka perintah itu disebut fardhu. Sedangkan jika perintah itu atas dasar dalil zhanni, perintah itu dinamakan wajib. Adapun haram adalah larangan yang didasarkan pada dalil qath’i, sedangkan larangan yang didasarkan dalil zhanni disebut makruh tahrim. Makruh tanzih adalah sesuatu yang dilarang dengan larangan ringan.
Norma Sosial: kaidah perilaku dalam masyarakat; (tata kesopanan bertingkah laku di tengah masyarakat): adat kebiasaan; sanksi moral.
Norma Hukum: kaidah perilaku yang berupa aturan-aturan hukum baik tertulis (geschreven) atau tidak tertulis (ongeschreven); Perdata, Pidana, HTN, HAN, dan sebagainya.
Hukum Administrasi: norma yang mengatur administrasi (fungsi dan institusi). Pelaku: institusional (jabatan dan fungsionaris yakni organ yang terdiri atas pejabat dan para pegawai). Dalam hal ini ada dua entitas yang dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan yaitu pejabat dan para pegawai dalam kapasitas sebagai wakil (vertegenwoordiger), yang bertindak untuk dan atas nama institusi, dan dalam kapasitas sebagai manusia (pribadi). Karena itu ada dua jenis norma yaitu norma pemerintahan (bestuursnorm) yaitu kaidah-kaidah hukum yang berlaku dan diterapkan terhadap jabatan pemerintahan, dan norma perilaku (gedragsnorm) yakni kaidah-kaidah hukum yang harus diperhatikan dan dipatuhi oleh pemangku jabatan.
Baik norma pemerintahan maupun norma perilaku, kedua ada yang berupa norma hukum tertulis dan norma hukum tidak tertulis.
Norma hukum tertulis bestuursnorm terdapat dalam UUD dan peraturan perundang-undangan lainnya. Norma hukum tidak tertulis: AAUPB.
Norma hukum tertulis gedragsnorm terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Disiplin Pegawai, Kode Etik, Sumpah Jabatan, dan Pakta Integritas. Norma hukum tidak tertulis: norma pergaulan (adat istiadat, moral).
Toetsingsgrond Pemerintahan
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt menyebutkan bahwa ada empat macam dasar pengujian yang dapat digunakan terhadap tindakan organ pemerintah yaitu:
(1)    strijd met een algemeen verbindend voorschrift (bertentangan dengan peraturan yang mengikat umum atau peraturan perundang-undangan);
(2)    detournement de pouvoir (penyalahgunaan wewenang);
(3)    het administratieve orgaan heeft bij afweging van de betrokken belangen niet in redelijkheid tot de beschikking kunnen komen (organ pemerintah dalam mempertimbangkan berbagai kepentingan terkait untuk mengambil keputusan tidak mendasarkan pada alasan yang rasional);
(4)    strijd anderzins met enig in het algemeen rechtsbewustzijn levend beginsel van behoorlijk bestuur (bertentangan dengan apa yang dalam kesadaran hukum umum merupakan asas-asas yang hidup/berlaku tentang pemerintahan yang baik).
Perbuatan Melanggar Hukum:
Istilah perbuatan melawan atau melanggar hukum berarti perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum, baik itu Hukum Pidana, Hukum Administrasi, atau Hukum Perdata. Ada dua istilah asing yang sering digunakan yaitu onrechtmatige daad dan wederrechtelijkheid. Dalam praktek penegakan hukum di Indonesia, umumnya istilah onrechtmatige daad diterjemahkan dengan perbuatan melanggar hukum dalam bidang perdata dan jika perbuatan itu dilakukan oleh pemerintah, digunakan istilah onrechtmatige overheidsdaad, sedangkan wederrechtelijkheid diterjemahkan dengan perbuatan melawan hukum dan digunakan dalam Hukum Pidana.
Perdata (onrechtmatige overheidsdaad); Pasal 1365 KUH Perdata; “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Paulus E. Lotulung menyebutkan bahwa pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dalam Pasal 1410 BW (1365 KUH Perdata) didasarkan pada prinsipnya atas adanya kesalahan si pelaku, atau dengan perkataan lain, yaitu “schuldaansprakelijkheid” (pertanggungjawaban atas dasar kesalahan).
Sebelum 1919 Pasal 1365 ditafsirkan secara sempit, dengan unsur-unsur; pertama, perbuatan melawan hukum; kedua, timbulnya kerugian; ketiga, hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian; keempat, kesalahan pada pelaku.
Setelah tahun 1919 atau persisnya setelah ada Drukkers Arres dalam perkara Cohen v. Lindenbaum, kriteria perbuatan melawan hukum ditafsirkan secara luas, dengan unsur-unsur sebagai berikut; pertama, mengganggu hak orang lain; kedua, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; ketiga, bertentangan dengan kesusilaan; keempat, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap benda orang lain.

Tindakan Tanpa/Cacat Wewenang
(Onbevoegdheidsgebreken)
Onbevoegdheid yakni tindakan yang melanggar wewenang atau tindakan tanpa dasar wewenang atau cacat wewenang (bevoegdheidsgebreken). Onbevoegdheid atau bevoegdheidsgebreken ini terdiri atas onbevoegdheid ratione materie, onbevoegdheid ratione loci atau onbevoegdheid naar plaats, dan onbevoegdheid ratione temporis atau onbevoegdheid naar tijd. Onbevoegdheid ratione materie berarti bahwa organ administrasi melakukan tindakan dalam bidang yang tidak termasuk wewenangnya. Onbevoegdheid ratione loci berarti bahwa organ administrasi melakukan tindakan yang melampaui batas wilayah kekuasaannya. Onbevoegdheid ratione temporis terjadi apabila wewenang yang digunakan telah melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan untuk wewenang itu.

Penyalahgunaan Wewenang
(Detournement de Pouvoir)

Jean Rivero dan Waline mengatakan bahwa pengertian penyalahgunaan wewenang itu dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu:
1)   Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan;
2)   Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh undang-undang atau peraturan-peraturan lain;
3)   Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi  telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.

Apa yang disebutkan Jean Rivero dan Waline pada nomor 3 itu dapat disebut sebagai “khas Perancis” yang bersumber dari yurisprudensi Conseil d’Etat. Di Belanda dan Indonesia, penyimpangan prosedur itu tergolong sebagai tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, bukan penyalahgunaan wewenang. Dengan kata lain, di Belanda dan Indonesia dibedakan antara penyalahgunaan wewenang dengan penyimpangan prosedur. Parameter yang digunakan juga berbeda. Parameter penyalahgunaan wewenang adalah asas spesialitas, sedangkan penyimpangan prosedur parameternya peraturan perundang-undangan.[1] Berdasarkan penjelasan Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, penyimpangan prosedur itu tergolong sebagai “bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural/formal”.

Tolok Ukur Detournement de Pouvoir adalah asas spesialitas, yakni setiap pemberian wewenang kepada organ pemerintah itu pasti dengan tujuan tertentu. Mengalihkan tujuan adalah Detournement de Pouvoir.
Tindakan Sewenang-wenang
(Willekeur)
F.H. van der Burg dan kawan-kawan menyebut willekuer itu sebagai “aperte onredelijkheid in de belangenafweging (nyata-nyata tidak beralasan dalam mempertimbangkan berbagai kepentingan). Lebih lanjut disebutkan, “het administrative orgaan bij afweging van de betrokken belangen niet in redelijkheid tot de beschikking heeft kunnen komen” (organ pemerintah dalam mempertimbangkan berbagai kepentingan terkait untuk mengambil keputusan tidak mendasarkan pada alasan yang rasional).  P. de Haan dan kawan-kawan mengatakan, “dat er sprake is van willekeur, wanneer moet worden aangenomen dat de vorderende authoriteit bij afweging van de in aanmerking komende belangen in redelijkheid niet tot een vordering heeft kunnen komen en dus afweging van die belangen geacht moet worden niet te hebben plaats gehad” (bahwa ada tindakan sewenang-wenang, ketika pemerintah dalam memperhatikan kepentingan tidak mendasarkan pada akal sehat sehingga memunculkan tuntutan dan dengan demikian pertimbangan kepentingan itu dianggap tidak ada).
Dari beberapa pengertian tersebut tampak bahwa konsep willekeur itu berkenaan dengan pemberian alasan (reasoning) yang dilakukan oleh pembuat keputusan (decision maker) atau pejabat pemerintah dalam setiap keputusan yang menyangkut kepentingan publik. Dengan kata lain, pemberian alasan yang tidak masuk akal itulah yang disebut tindakan sewenang-wenang. Karena terkait dengan pemberian reason dalam pengambilan keputusan, maka dalam berbagai literatur hukum, konsep sewenang-wenang umumnya disebut sebagai tindakan yang tidak masuk akal atau unrasionableness atau irrationality.
Menurut Indroharto, rumusan mengenai willekeur yang diikuti sampai sekarang adalah “tidak dilakukannya perbuatan menimbang-nimbang terhadap semua kepentingan yang terkait dengan keputusan yang dikeluarkan, atau telah dilakukan perbuatan menimbang-nimbang tersebut yang sedemikian tidak masuk akal, sehingga mengakibatkan dikeluarkannya keputusan yang sama sekali tidak bisa diterima/dibenarkan”.[2] Philipus M. Hajon memberikan contoh tindakan sewenang-wenang sebagai berikut:
“Misalnya ketentuan untuk melampirkan surat keterangan kesehatan bagi pemohon pensiun hari tua. Ketentuan semacam itu jelas bertentangan dengan peraturan yang berlaku karena tidak ada ketentuan yang mengharuskan itu. Di sisi lain ketentuan itu dapat diukur dengan segi kewajaran, akal sehat serta keharusan untuk memutus atas informasi yang lengkap (asas motivering). Dengan ukuran ini jelas bahwa adalah sangat tidak masuk akal untuk mewajibkan pemohon pensiun hari tua untuk melampirkan keterangan kesehatan, karena keterangan sehat atau tidak sehat untuk apa? Apakah perlu keterangan yang isinya: sehat untuk pensiun?”




[1] Penyimpangan prosedur tergolong sebagai cacat prosedur (gebreken in de procedur), yang merupakan bagian dari cacat bentuk (vormgebreken). Keduanya termasuk bertentangan dengan undang-undang (strijd met de wet), P de Haan, et.al, deel 2, op. cit., hlm. 69.
[2] Indroharto, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, tulisan pada Buku Paulus Effendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994,  hlm. 166.

Post a Comment

0 Comments