PENEGAKAN HUKUM



PENEGAKAN HUKUM
Dr. Ridwan R. SH., MH
(dosen fakultas Hukum UII


Penegakan Hukum:
Usaha mewujudkan ide-ide atau konsep-konsep (yang terdapat dalam peraturan hukum) menjadi kenyataan. (Satjipto Rahardjo)
Kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan nilai yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (sebagai “social engineering”), memelihara dan mempertahankan (sebagai “social control”) kedamaian pergaulan hidup. (Soerjono Soekanto)
Handhaving; “het door controle en het toepassen (of dreigen daarmee) van adminis-tratiefrechtelijke, strafrechtelijke of privaat-rechtelijke middelen bereiken dat algemeen geldende rechtsregels en individueel geldende voorschriften worden nageleefd”. Sancties zijn de ‘tanden van het recht’. (J.B.J.M. ten Berge, Besturen door de Overheid, hlm. 371). Penegakan hukum adalah pengawasan dan penerapan sanksi (atau dalam hal ini berupa ancaman) yang bersifat administrasi, pidana, dan perdata dengan maksud agar peraturan hukum yang berlaku umum dan yang berlaku secara individual itu dipatuhi. Sanksi merupakan “taringnya hukum”.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:
1)   Faktor hukumnya sendiri;
2)   Faktor penegak hukum; pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum;
3)   Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4)   Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
5)   Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. (Soerjono Soekanto)

Penegakan Hukum Administrasi

Penegakan hukum dalam Hukum Administrasi terdiri atas dua lankah, yakni:
1.   Pengawasan, sebagai langkah preventif untuk memaksakan kepatuhan;
2.   Pengenaan Sanksi, sebagai langkah represif untuk memaksakan kepatuhan.

Sanksi dalam HAN

Dalam Hukum Administrasi, sanksi adalah alat kekuasaan yang bersifat hukum publik yang dapat digunakan oleh pemerintah sebagai reaksi atas ketidakpatuhan terhadap kewajiban yang terdapat dalam norma hukum administrasi negara. (H.D. van Wijk)
Berdasarkan definisi tersebut tampak ada empat unsur sanksi dalam Hukum Administrasi, yaitu:
a)    alat kekuasaan (machtmiddelen);
b)   bersifat hukum publik (publiekrechtelijke);
c)    digunakan oleh pemerintah (overheid);
d)   sebagai reaksi atas ketidakpatuhan (reactie op niet-naleving).

Istilah Latin “in cauda venenum”, yang secara bahasa berarti di ujung terdapat racun, agaknya sangat penting dalam menopang dipatuhinya norma-norma hukum, sebab pada umumnya norma-norma yang terdapat dalam suatu peraturan itu tidak memiliki kekuatan dan wibawa jika tidak disertai dengan sanksi. J.B.J.M. ten Berge menyebut sanksi ini sebagai “tanden van het recht” atau taringnya hukum.

Menurut J.J. Oosternbrink, sanksi administratif adalah sanksi yang muncul dari hubungan antara pemerintah dengan warga negara, yang dilaksanakan tanpa kekuasaan peradilan (hakim), tetapi secara langsung dilaksanakan oleh administrasi sendiri.
Pemberian sanksi kepada warga negara itu merupakan “pembebanan” dan karena itu pada umumnya harus melalui proses peradilan yakni untuk menguji apakah warga negara yang akan dikenai sanksi itu telah terbukti melanggar norma-norma hukum. Meskipun demikian, khusus dalam hal pelanggaran norma hukum administrasi, penerapan sanksi itu dapat dilakukan secara langsung oleh pemerintah tanpa proses peradilan. Dasar teoretik pemberian sanksi secara langsung oleh pemerintah ini adalah pemberian kewenangan legislasi kepada pemerintah. Pemberian kewenangan legislasi itu berarti pemberian wewenang kepada pemerintah untuk membuat norma-norma hukum, dan wewenang pembuatan norma ini melekat pula kewenangan penegakannya, yakni pengawasan dan penerapan sanksi.

Dalam penyelenggaraan administrasi atau pemerintahan, sanksi pidana dapat diterapkan bersama-sama dengan sanksi administrasi, artinya tidak diterapkan prinsip “ne bis in idem” (secara harfiah, tidak dua kali mengenai hal yang sama, mengenai perkara yang sama tidak boleh disidangkan untuk kedua kalinya), karena antara sanksi administrasi dengan sanksi pidana ada perbedaan sifat dan tujuan.
Ada tiga perbedaan antara sanksi administrasi dengan sanksi pidana. Dalam sanksi administrasi, sasaran penerapannya ditujukan pada perbuatan, sedangkan dalam pidana ditujukan pada pelaku. Sifat sanksi administrasi adalah reparatoir-condemnatoir yaitu pemulihan kembali pada keadaan semula dan memberikan hukuman, sanksi pidana bersifat condemnatoir. Prosedur sanksi administrasi dilakukan secara langsung oleh pemerintah, tanpa melalui proses peradilan. Prosedur penerapan sanksi pidana harus melalui proses peradilan. Dalam kaitan ini, penerapan sanksi administrasi itu bersifat premum remedium (sarana pertama), sedangkan penerapan pidana itu bersifat ultimum remedium (sarana terakhir).

Macam-macam Sanksi dalam HAN

         1. Paksaan Pemerintahan (bestuursdwang)
         2. Penarikan KTUN yang Menguntungkan
         3. Pengenaan Uang Paksa (dwangsom)
         4. Denda Administratif (administratieve boete)

·        Paksaan Pemerintahan
Kewenangan paksaan pemerintahan (bestuursdwangbevoegheid) dapat diuraikan dengan sebagai kewenangan organ pemerintahan untuk melakukan tindakan nyata mengakhiri situasi yang bertentangan dengan norma hukum administrasi negara, karena kewajiban yang muncul dari norma itu tidak dijalankan atau sebagai reaksi dari pemerintah atas pelanggaran norma hukum yang dilakukan warga negara.
Dalam AwB disebutkan bahwa paksaan pemerintahan adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh organ pemerintah atau atas nama pemerintah untuk memindahkan, mengosongkan, menghalang-halangi, memper-baiki pada keadaan semula apa yang telah dilakukan atau sedang dilakukan yang berten-tangan dengan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

·        Penarikan KTUN yang menguntungkan
Keputusan yang menguntungkan (begunstigende beschikking) artinya ketetapan itu memberikan hak-hak atau memberikan kemungkinan untuk memperoleh sesuatu yang tanpa adanya ketetapan itu tidak akan ada atau bilamana ketetapan itu memberikan keringanan beban yang ada atau yang mungkin ada. Lawan dari keputusan yang menguntungkan adalah keputusan yang memberi beban (belastende beschikking) adalah ketetapan yang meletakkan kewajiban yang sebelumnya tidak ada atau ketetapan mengenai penolakan terhadap permohonan untuk memperoleh keringanan. Penarikan atau pencabutan KTUN yang menguntungkan merupakan salah satu bentuk sanksi dalam HAN, dan hal ini terjadi apabila; pertama, yang berkepentingan tidak mematuhi pembatasan-pembatasan, syarat-syarat atau ketentuan peraturan perundangan yang dikaitkan pada izin atau subsidi; kedua, yang berkepentingan pada waktu mengajukan permohonan izin atau subsidi telah memberi-kan data yang tidak benar atau tidak lengkap, sehingga apabila data itu diberikan secara benar atau lengkap maka keputusan akan berlainan (misalnya, penolakan izin).
Penarikan kembali ketetapan ini menimbulkan persoalan yuridis, hal ini karena di dalam HAN terdapat asas het vermoeden van rechtmatigheid atau presumtio justea causa, yaitu bahwa pada asasnya setiap ketetapan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dianggap benar menurut hukum, oleh karena itu KTUN yang sudah dikeluarkan itu pada dasarnya tidak untuk dicabut kembali, sampai dibuktikan sebaliknya oleh Hakim di pengadilan.
Meskipun pada dasarnya KTUN yang telah dikeluarkan tersebut tidak untuk dicabut kembali sejalan dengan asas praduga rechtmatig dan asas kepastian hukum, akan tetapi tidaklah berarti menghilangkan kemungkinan untuk mencabut KTUN tersebut. Kaidah HAN memberikan kemungkinan untuk mencabut KTUN yang menguntungkan sebagai akibat dari kesalahan si penerima KTUN, sehingga pencabutannya merupakan sanksi baginya.
Ateng Syafrudin menyebutkan ada empat kemungkinan suatu ketetapan itu ditarik kembali yaitu sebagai berikut:
a. Asas kepastian hukum tidak menghalangi penarikan kembali atau perubahan suatu keputusan, bila sesudah sekian waktu dipaksa oleh perubahan keadaan atau pendapat;
b. Penarikan kembali atau perubahan juga mungkin bila keputusan yang menguntungkan didasarkan pada kekeliruan, asal saja kekeliruan itu dapat diketahui oleh yang bersangkutan;
c. Penarikan kembali atau perubahan dimungkinkan, bila yang berkepentingan dengan memberikan keterangan yang tidak benar atau tidak lengkap, telah ikut menyebabkan terjadinya keputusan yang keliru;
d. Penarikan kembali atau perubahan dimungkinkan, bila syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan yang dikaitkan pada suatu keputusan yang menguntungkan tidak ditaati.

·        Pengenaan Uang Paksa (dwangsom) dan Denda Administratif.
Dwangsom diterapkan sebagai alternatif dari paksaan pemerintahan dan sebagai sanksi reparatoir. Berbeda dengan pengenaan uang paksa administrasi yang ditujukan untuk mendapatkan situasi konkret yang sesuai dengan norma, denda administrasi tidak lebih dari sekadar reaksi terhadap pelanggaran norma, yang ditujukan untuk menambah hukuman yang pasti, terutama denda administrasi yang terdapat dalam hukum pajak. (P. de Haan)


Post a Comment

0 Comments