Eksekusi dan Permasalahannya
Dr. Ridwan R. SH., MH
(dosen fakultas Hukum UII)
Di dalam Pasal
115 UU No. 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa, “Hanya putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan”. Selanjutnya Pasal 116
UU No. 9 Tahun 2004 disebutkan sebagai berikut:
(1)
Salinan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan
kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas
perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
(2)
Dalam hal
4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, tergugat tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a,
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi.
(3)
Dalam hal
tergugat harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata
kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) agar Pengadilan
memerintahkan tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4)
Dalam hal
tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa
berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5)
Pejabat
yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak
terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Berdasarkan Pasal 116 UU No. 51 Tahun 2009:
(1)
Salinan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada
para pihak dengan
surat tercatat oleh panitera pengadilan setempat atas perintah ketua pengadilan
yang mengadilinya
dalam tingkat pertama selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
(2)
Apabila
setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima tergugat tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a,
keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi.
(3)
Dalam
hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90 (sembilan puluh)
hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka penggugat
mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan putusan pengadilan
tersebut.
(4)
Dalam
hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi
administratif.
(5)
Pejabat
yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak
terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6)
Di
samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan.
(7)
Ketentuan
mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara pelaksanaan
pembayaran uang
paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Beberapa Persoalan Eksekusi PTUN:
Dalam ketentuan pasal
tersebut ditemukan adanya eksekusi otomatis, yakni Pasal 116 ayat (2), dan ada
eksekusi hirarkis, yaitu Pasal 116 ayat (6) UU No. 51 Tahun 2009. Eksekusi
otomatis dan eksekusi hirarkis sebenarnya terkendala oleh asas “het vermoeden van
rechtmatigheid” dan asas “contrarius actus”, yang melekat pada keputusan.
Disebutkan bahwa sanksi
yang dapat dikenakan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang kalah
berperkara dan tidak melaksanakan putusan PTUN adalah dikenakan upaya paksa berupa
pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Persoalannya
adalah:
a) Siapa yang harus
menanggung uang paksa, pribadi atau
institusi?
b) Jenis putusan apa saja yang dapat dikenai
hukuman uang paksa?
c) Berapa besaran uang paksa yang dijatuhkan dalam
amar putusan?
d) Sejak kapan uang paksa tersebut diterapkan?
Beberapa pertanyaan ini
tidak terdapat ketentuannya dalam peraturan perundang-undangan. Dalam hal
penerapan sanksi yang berupa “diumumkan pada media
massa cetak setempat” juga problematik, siapa yang diumumkan apakah pejabat
atau nama pribadi yang menjabat? Jika yang diumumkan itu nama pribadi,
masalahnya sama dengan pengenaan uang paksa, yakni ketika pejabat yang
bersangkutan mengeluarkan KTUN, ia bertindak bukan sebagai pribadi tetapi
sebagai wakil dari jabatan. Ketika pejabat yang bersangkutan sudah tidak
menjabat–misalnya berhenti/diberhentikan atau berakhir masa jabatannya–pada
saat akan atau sedang diumumkan di media massa, apakah pengumuman itu masih
diteruskan?
Kendala-kendala
Pelaksanaan Putusan
1) asas bahwa terhadap
benda-benda publik tidak dapat diletakkan sita jaminan;
2)
asas “rechtmatigheid van bestuur”. Salah satu konsekuensi asas ini adalah
asas kewenangan. Pejabat atasan tidak dibenarkan menerbitkan KTUN yang
seharusnya menjadi wewenang pejabat tertentu di bawahnya. Dengan demikian
andaikata pejabat atasan memerintahkan pejabat di bawahnya untuk menerbitkan
sebuah KTUN dan ternyata tidak dilakukan, pejabat atasan tidak bisa menerbitkan
KTUN tersebut;
3) asas bahwa kebebasan pejabat
pemerintahan tidak bisa dirampas. Kemungkinan dari asas ini misalnya tidak
mungkin seorang pejabat dikenai tahanan rumah karena tidak melaksanakan putusan
pengadilan TUN;
4) asas bahwa negara (dalam hal
ini) pemerintah selalu harus dianggap “solvable” (mampu membayar). [1]
Sebagai perbandingan, kendala-kendala eksekusi
putusan PTUN yang dikemukakan Philipus M. Hadjon tersebut, hampir sama dengan
kendala-kendala yang dikemukakan oleh Indroharto berikut ini:
1) harta benda yang digunakan
untuk kepentingan umum itu tidak dapat diletakkan dalam suatu sitaan eksekusi;
2) memperoleh kuasa untuk
melaksanakan sendiri atas beban pemerintah (pihak tereksekusi) akan merupakan
hal yang bertentangan dengan asas legalitas yang mengatakan bahwa berbuat atau
memutuskan sesuatu berdasarkan hukum publik itu semata-mata hanya dapat
dilakukan oleh Badan atau Jabatan TUN yang diberi wewenang atau berdasar pada
suatu ketentuan peraturan perundang-undangan;
3) merampas kebebasan
orang-orang yang sedang memangku jabatan pemerintahan sebagai sarana paksaan
akan berakibat pantulan-pantulan yang hebat terhadap jalannya pemerintahan;
4)
pemerintah itu selalu dianggap dapat dan mampu membayar (solvabel).[2]
0 Comments